Tuesday, 2 June 2009

Evolusi Agama

EVOLUSI BERAGAMA PADA MANUSIA

PENDAHULUAN

Agama memiliki definisi yang beragam, demikian banyaknya sehingga definisi agama semakin tidak jelas. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita menelusuri pandangan Intelektualisme tentang definisi agama, juga membantu kita untuk mengetahui apa yang mereka inginkan dari agama. Walaupun agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka semua sama dalam hal ini, bahwa terdapat ruh-ruh di alam ini yang berfikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.Agama adalah rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat, dan juga merupakan faktor koherensi terhadap masyarakat.

Agama adalah sesuatu yang sakral dan dianggap suci oleh setiap penganutnya, pendekatan seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh tokoh-tokoh agama agar tidak terjadi eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme antar pemeluk agama. Dan usaha yang optimal dari semua kalangan untuk bersinergi dalam suatu pranata sosial yang mengarah kepada peradaban yang madani dan lebih baik antar pemeluk agama.

Agama begitu penting dalam kehidupan manusia, sehingga mengundang para pakar untuk memberikan sumbangan fikiran dan teori tentang makna dan definisi agama itu sendiri. Keberadaan agama telah ada sejak zaman purbakala (primitif) hingga kini. Tapi, apakah substansi agama dan cara kita memaknai agama berbeda dari zaman purbakala. Nah, penulis akan menyampaikan pendekatan-pendekatan tentang teori-teori evolusi agama, Insya Allah bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Amin.


PENGERTIAN AGAMA

Firman Allah :

Artinya : “Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy Syuura : 13)

Dipandang dari sudut bahasa agama dalam bahasa Indonesia yang berarti din adopsi dari bahasa Arab dan Semit, sedangkan dalam bahasa-bahasa Eropa sama dengan religion (Inggris), la religion (Perancis), de rielegie (Belanda), die Religion (Jerman). Secara bahasa, perkataan agama berasal dari bahasa sansakerta yang mempunyai arti “tidak pergi, tetap di tempat, turun temurun”. Sedangkan makna dari kata din adalah “menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, atau kebiasaan”.

Din juga membawa hukum-hukum yang harus dipatuhi, baik dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan dan pembalasannya. Kata ad-din dan isytiqaq (kata jadiannya) disebut sebanyak 94 kali dalam Al-Qur’an yang memiliki makna dan konteks berbeda, yang antara lain berarti :

1. Pembalasan, sesuai dengan perkataan Allah “Yang menguasai di hari Pembalasan”.

2. Undang-undang duniawi atau peraturan yang dibuat raja, Firman Allah : “Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, Kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui’. (QS. Yusuf : 76)

3. Agama yang datangnya dari Allah SWT, bila din dirangkaikan dengan kata Allah. Firman Allah ”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.(QS Ali Imran : 83)

4. Agama yang dibawa Rasulullah sebagai agama yang benar yakni agama Islam , bila kata ad dinn dikatikan dengan kata al-haqq sesuai dengan firman Allah : “yang Telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai”. (QS. At Taubah : 33)

5. bukan hanya menunjuk kepada agama Islam saja, tapi kepada semua agama sesuai dengan perkataan Tuhan :”Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci”. (QS. Ash Shaff : 9)

UNSUR-UNSUR PENTING DALAM AGAMA :

a. Kekuatan ghaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan ghaib itu sebagai tempat meminta pertolongan. Manusia merasa harus ada hubungan baik dengan kekuatan ghaib dengan konsekunsi adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan dari kekuatan tersebut.

b. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan kebahagiaanya di akhirat tergantung kepada hubungan baiknya terhadap kekuatan ghaib tersebut, dan tanpa adanya kekuatan ghaib itu manusia akan sengsara hidup di dunia dan akhirat.

c. Respons yang bersifat emosional dari manusia, baik dalam perasaan takut atau dalam perasaan cinta. Yang selanjutnya respons tersebut mengambil bentuk sebagai pemujaan atau penyembahan dan tata cara hidup tertentu bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

d. Paham keberadan yang Qudus ( the sacred ) dan suci, seperti kitab suci, tempat ibadah dan sebagainya.


TEORI SUBSTANSI AGAMA

Agama memiliki definisi yang beragam, demikian banyaknya sehingga definisi agama semakin tidak jelas. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita menelusuri pandangan intelektualisme, dekonstruksi dan strukturalis tentang definisi agama, juga membantu kita untuk mengetahui apa yang mereka inginkan dari agama. Di antara tokoh yang ada, Tylor memberikan definisi yang lebih jelas, Tylor mendefinisikan agama sebagai; kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual. Dalam pandangannya, walaupun agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka semua sama dalam hal ini, bahwa terdapat ruh-ruh di alam ini yang berfikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.

Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama sebagai rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat, dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Apa saja yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya, Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme.

PANDANGAN ORIENTALIS TERHADAP EVOLUSI AGAMA

Para pemikir yang kami angkat dalam kesempatan ini, sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Evolusionisme abad 19, mereka menganggap bahwa perubahan-perubahan internal agama disebabkan oleh sebuah proses yang berevolusi, agama adalah salah satu tahapan dari beberapa tahapan evolusi manusia, yang bersandar pada evolusi alam mental atau akal manusia. Para pemikir di atas sepakat bahwa sejarah manusia bergerak menuju kesempurnaan, yang dimulai dari titik yang paling sederhana, hingga ke titik yang paling puncak, dan para pemikir ini sepakat bahwa faktor dan penyebab evolusi ini adalah akal dan benak manusia, akan tetapi para pemikir ini berbeda dalam mengambil sumber dan informasi. Masing-masing dari pemikir ini berbeda dalam menyebutkan tahapan-tahapan evolusi agama. Oleh sebab itu, ada baiknya jika kami kemukakan pandangan mereka secara singkat.

August Comte meyakini ada tiga tahapan dalam proses evolusi sejarah manusia; pertama, tahapan teologi. Menurutnya, dalam tahapan ini, masyarakat memiliki keyakinan bahwa di balik fenomena-fenomena alam ini, dikontrol oleh suatu keberadaan metafisik. Tahapan ini memiliki tiga cabang; cabang pertama disebut dengan Fetishisme. Manusia dalam tahapan Fetishisme ini meyakini bahwa segala fenomena alam-seperti dirinya-memiliki ruh atau jiwa, yang menggerakkan fenomena-fenomena tersebut. Cabang kedua adalah Politeisme, dalam tahapan ini mereka tidak berbicara mengenai ruh, namun meyakini akan keberadaan Tuhan-Tuhan yang mengontrol dan mengaturnya. Tuhan-Tuhan ini menguasai segalanya termasuk manusia, oleh karena itu, manusia mengadakan ritual dan penyembahan untuk meminta keridhaan tuhan-tuhan tersebut.

Penyembahan ini bagi mereka memiliki peranan yang sangat besar, sehingga mereka memilih tokoh spiritual tertentu sebagai penghubung antara dia dan tuhan-tuhan mereka, dan juga berfungsi untuk mengajarkan bagaimana menyembah yang benar. Cabang ketiga adalah Monoteisme, dalam tahapan ini manusia tidak lagi menyembah beberapa Tuhan, tapi hanya menyembah satu Tuhan, yang menguasai segalanya.

Tahapan kedua adalah tahapan filosofis, dalam tahapan ini manusia dalam menjustifikasi sesuatu tidak lagi berdasarkan pada kekuatan metafisik, tapi bersandar pada substansi sesuatu itu sendiri.

Tahapan ketiga adalah tahapan Positivisme. Dalam tahapan ini manusia tidak lagi menggunakan dua metode sebelumnya, tapi ia mulai mengobservasi fenomena tersebut, dan mencoba menentukan hubungan-hubungan yang teratur diantaranya. Comte meyakini bahwa fakultas-fakultas pengetahuan yang memiliki kerumitan tertentu akan sampai pada tahapan ini.

Tylor dan Frazer meyakini bahwa ketiga tahapan tersebut adalah magic, agama dan ilmu. Dalam pandangan mereka, aktvitas magic dilakukan berdasarkan prinsip analogi dan asosiasi. Frazer meyakini akan dua jenis magic, pertama; sebuah magic yang dilakukan berdasarkan kemiripan sesuatu, yaitu dengan melihat adanya kemiripan di antara dua obyek, obyek yang satu dapat mempengaruhi obyek yang lain, dengan mengoperasikan teknik-teknik magic tertentu pada salah satu obyek tersebut, misalnya untuk melukai seseorang, cukup dengan membuat patung atau boneka yang mirip dengan orang tersebut, dan kemudian ia tusukkan jarum pada boneka tersebut. Jenis kedua adalah magic menjalar, yang dapat dioperasikan dengan sentuhan tertentu atau menularkannya. Misalnya; jika kita mendapatkan salah satu bagian dari bekas anggota tubuh seseorang, seperti kuku dan rambut, kita dapat menyihir orang tersebut.

Setelah tahapan magic, selanjutnya masuk dalam tahapan agama. Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa dalam tahapan agama, mereka menjelaskan fenomena-fenomena alami dengan menyandarkannya pada ruh-ruh dan Tuhan-Tuhan. Untuk mempengaruhi seseorang mereka tidak menggunakan magic lagi, tapi cukup dengan bermunajat pada ruh-ruh atau Tuhan-Tuhan. Tahapan selanjutnya adalah tahapan ilmu, menurut Frazer, pengetahuan manusia pada fenomena-fenomena alam semakin hari akan semakin bertambah, penjelasan agama tidak lagi memuaskan seseorang dalam menjelaskan fenomena tersebut, manusia lebih menyandarkan pengetahuannya pada penemuan-penemuan ilmiah mereka. Dalam tahapan ini manusia sama sekali tidak butuh kekuatan metafisik, yang mereka gunakan adalah metode-metode eksperimentasi, dalam menemukan sebab-sebab dan factor-faktor fenomena tersebut.

Sebagaimana yang Anda perhatikan, teori Intelektualisme melirik agama sebagai sebuah metode dan pengetahuan dalam menjelaskan dunia, yang diawali dalam tahapan tertentu dari perkembangan pemikiran manusia. Oleh karena itu, karena pengetahuan manusia terhadap fenomena tersebut semakin hari sekamin bertambah, maka kebutuhan dia pada agama akan semakin berkurang, bahkan suatu saat nanti dia tidak membutuhkannya sama sekali.

Pertanyaan selanjutnya; apakah agama hanyalah sebuah tahapan dari sebuah pemikiran manusia, yang hilang secara tiba-tiba dan digantikan oleh ilmu dan metode ilmiah, ataukah perpindahan tahapan beranjak secara perlahan-lahan? Dengan kata lain, setelah tahapan selajutnya siap untuk menggantikan tahapan sebelumnya, apakah tahapan sebelumnya sirna sama sekali, ataukah terdapat unsur-unsur yang masih menetap dan bercampur dengan tahapan salanjutnya? Dalam menjawab pertanyaan ini, para analis Intelektualisme sepakat bahwa terdapat unsur-unsur dalam tahapan sebelumnya yang masih bertahan dalam tahapan selanjutnya, bahkan sampai waktu yang sangat panjang, yang disebabkan oleh faktor efisiensi. Tylor menggunakan pemahaman ?survivals? dalam menjelaskan unsur yang tetap bertahan tersebut.

Dalam pandangan Tylor, budaya yang berbeda-beda dan juga bagian dari sebuah budaya, semuanya tidak menyempurna secara bersamaan. Secara umum, sebagian dari bagian sebuah budaya tertentu, dimana dalam sebuah masa tertentu memiliki efisiensi yang baik, akan memungkinkan bagian sebuah budaya tersebut masih tetap bertahan walapun bagian lainnya telah mengalami perubahan, misalnya pada zaman dahulu, untuk berburu cukup dengan menggunakan panah dan busur, namun para pemburu modern tidak lagi menggunakan alat tersebut, mereka lebih memilih senjata dalam berburu, namun panah dan busur masih tetap terpelihara hingga saat ini, disebabkan karena memanah dilihat sebagai sebuah kemahiran dalam sebuah olah raga atau sebagai interaksi. Comte juga menerima adanya unsur-unsur dalam berbagai tahapan yang satu sama lain saling bercampur, namun Comte lebih banyak memperhatikan pada sisi sosialnya. Dalam pandangan Comte, ketiga tahapan alam mental manusia, akan menghasilkan keharmonisan dan kesatuan dalam sistem masyarakat, namun ketika unsur-unsur tersebut satu sama lain telah bercampur, akan menimbulkan problema dalam sistem masyarakat

POSISI ISLAM DALAM WACANA KEBUDAYAAN

Pembicaraan tentang Islam dalam diskusi kebudayaan selalu menjadi sesuatu yang menarik. Hal ini disebabkan kesulitan-kesulitan yang ditemukan ketika hendak menempatkan Islam dalam diskusi tersebut. Tulisan ini merupakan sebuah ikhtiar untuk melihat secara jelas tempat Islam dalam diskusi kebudayaan.

Sebagai mana yang diketahui bahwa religi atau agama adalah bagian dari kebudayan, sehingga ia menjadi sesuatu yang bisa dikonstruksi manusia. Animisme dan dinamisme adalah contoh yang seringkali dikeluarkan sebagai dalih yang membenarkan bahwa agama dapat dikonstruksi. Agama menjadi sesuatu yang bisa berevolusi. Penjelasan agama yang bisa berevolusi tersebut akan diuraikan hingga menemukan kekoherensiannya dengan kemunculan agama monoteisme.

Namun, agama monoteisme tampaknya bukanlah akhir dari evolusi agama. Mungkin akhir evolusi itu adalah hilangnya agama dan hanya ada kepercayaan kepada satu Tuhan (Deisme) atau Tuhan tidak lagi perlu dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari (sekularisme), yang kini sedang banyak dipopulerkan.

Kata ‘agama’, sebagaimana kita ketahui, dilekatkan pula kepada Islam. Namun, pelekatan kata ‘agama’ kepada Islam bukan tanpa masalah. Masalah yang pertama yaitu, Islam diletakkan sebagai bagian dari kebudayaan. Islam dikatakan sebagai sesuatu yang dikonstruksi oleh manusia. Apakah tepat meletakkan Islam menjadi bagian dari kebudayaan?

Jawaban yang akan diberikan oleh seorang yang beriman adalah “tentu tidak tepat”. Tidak tepat, karena Islam adalah sesuatu yang ditanzilkan (diwahyukan) oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. Ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan, bukan sesuatu yang dibuat oleh manusia dan ia seluruhnya bersifat universal (tempat dan waktu), bukan hanya dari segi ketuhanan.

Masalah kedua, yaitu kaburnya makna agama. Jika agama adalah bagian dari kebudayaan, maka agama tidak menunjuk kepada keseluruhan, tetapi hanya pada satu bagian, lalu apa bagian yang ditunjuk oleh kebudayaan? Jawaban yang mungkin muncul adalah bahwa agama menunjuk pada bagian tentang keyakinan dan berbagai ritual peribadatan keagamaan. Dari titik ini, maka apa yang disebut sebagai agama Islam adalah keyakinan dan pelbagai ritual peribadatan (ibadah mahdhah).

Namun, apakah Islam hanya memiliki keyakinan dan ritual ibadah mahdhah? Jawabannya tentu tidak, sebab Islam mempunyai aturan-aturan tentang ekonomi, politik, kenegaraan, pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, tata kota, perhitungan waktu, pengelolaan alam, hukum, kekerabatan, perang, berpakaian, dan lain-lain.

Meskipun demikian, dalam kenyataannya, agama Islam adalah sebutan yang mencakup segala aturan dalam Islam. Oleh sebab itu, terlihat dengan jelas bahwa makna ‘agama’ menjadi meluas, bukan hanya menunjuk kepada keyakinan dan ibadah mahdhah. Lalu jika demikian, apakah agama masih merupakan bagian dari kebudayaan?

Ada dua kemungkinan jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertama, agama tetap merupakan bagian dari kebudayaan. Jika demikian, kenyataan yang menunjukkan penggunaan kata ‘agama’ kepada Islam yang merujuk pada keseluruhan aturan dalam Islam, harus diabaikan. Pengabaian ini dilakukan agar terdapat konsistensi pandangan (berdasarkan teori evolusi agama), bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan. Jika jawaban demikian yang muncul, tentu Islam tidak layak diletakkan sebagai agama. Apalagi melekatkan kata ‘agama’ pada Islam, sebab mengakibatkan reduksi terhadap Islam. Reduksi tersebut membuat Islam dilihat hanya sebagai keyakinan dan ibadah mahdhah. Reduksi makna ini populer berkat sekularisme dan praktiknya sudah nyata di tengah-tengah kita.

Jawaban kedua yang mungkin muncul adalah bahwa agama bukan bagian dari kebudayaan. Hal ini disebabkan kata ‘agama’ yang telah dilekatkan pada Islam menunjuk kepada keseluruhan aturan dalam Islam. Jika demikian, kata ‘agama’ memiliki ruang lingkup yang sama dengan kebudayaan, karena menunjuk pada sistem kekerabatan, sistem teknologi, sistem sosial, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem keyakinan, dan lain-lain.

Akan tetapi, jawaban kedua ini membuat sebuah inkonsistensi dalam teori kebudayaan sebab religi atau agama bukan lagi menjadi bagian dari kebudayaan. Hal ini tentu akan menambah problem lain, yaitu dimanakah posisi entitas selain Islam? Menjadi disebut apakah Kristen, Katolik, Budha, Hindu, dan lain-lain?

Masalah tersebut tentu juga akan memunculkan protes, sebab meski tidak seluas Islam, mereka juga agama. Protes ini secara tidak langsung adalah sebuah usaha untuk mereduksi Islam, menjadi sekadar keyakinan dan ritual ibadah mahdhah. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Islam tidak tepat disebut agama, karena problematika seperti yang sudah diuraikan.

Lalu, dimanakah posisi Islam dalam wacana kebudayaan? Sebenarnya jawaban pertanyaan ini sudah ada dalam uraian. Islam bukan sekadar agama (keyakinan dan ibadah mahdhah), sekaligus bukan bagian dari kebudayaan (buatan manusia). Ia memiliki ruang lingkup yang sama dengan kebudayaan – lebih lanjut adalah peradaban.

Alhamdulillah, sedari awal Islam disebut dengan ‘ad-Diin’ oleh Alquran, yang kemudian menjadi furqan (pembeda) dan bayan (penjelas) di tengah pandangan Barat yang menyatakan agama bisa berevolusi layaknya kebudayaan. ‘ad-Diin’ mungkin dapat ditawarkan menjadi alternatif sebutan yang menunjuk kepada realitas yang dihidupi oleh manusia atau dunia-manusia, dengan pembedaan antara yang dibantu dengan wahyu atau yang tidak dibantu dengan wahyu.

PENUTUP

Tidak diragukan bahwa teori intelektualisme, kontekstualisme dan strukturalisme telah memberikan peranan yang begitu penting dalam analisis-analisis sosiologi dan antropologi agama. Di sisi lain, teori ini termasuk teori yang pertama dalam ilmu sosial modern, yang membahas mengenai agama, tidak heran jika banyak kita temukan kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, saat ini kita akan membahas dan menganalisa dari berbagai sisi pandangan Intelektualisme, kontekstualisme dan strukturalisme tersebut. Layak kiranya jika kita membahas teori tersebut dengan analisa kritis, dan mengungkapkan sisi positif dan sisi negatifnya.

Oleh karena itu, boleh jadi beberapa dari adat-istiadat secara sepintas memiliki sisi kemiripan, namun pada hakikatnya memiliki makna dan tujuan yang berbeda. Walaupun para saintis saat ini meyakini prinsip kesatuan psikis manusia dalam artian bahwa manusia memiliki potensi yang sama dalam pikiran dan alam mental dari ras-ras yang berbeda, namun prinsip ini kemudian tidak memestikan bahwa manusia di mana saja akan menghasilkan sebuah budaya yang satu. Kemudian para analis Intelektualisme dengan mengasumsikan kesatuan psikis, yaitu kesatuan alam mental dan pemikiran manusia, mereka juga mengasumsikan akan kesatuan sejarah dan budaya-budaya seluruh manusia, dan atas dasar ini, mereka mengumpulkan sampel yang berbeda-beda, dan menganalisanya tanpa memperhatikan basis-basis sosial dan budaya.

Dan dengan pendekatan intelektualisme ini diharapkan semua pembaca lebih mengerti tentang perjalan agama hingga kepada agama Islam yang menjadi agama terakhir yang disempurnakan oleh Allah SWT.

No comments:

Post a Comment