Tuesday 2 June 2009

Poligami dalam Islam

New Roman";">Apakah Islam tidak adil bagi kaum perempuan….?

New Roman";">Apakah Islam mengajarkan setiap suami untuk berpoligami….?

New Roman";">Apakah ajaran sunnah Nabi Muhammad SAW tentang poligami itu keliru…?

New Roman";">Poligami merupakan persoalan kemanusiaan dan masyarakat yang selalu menjadi bahan perbincangan di setiap tempat dan waktu. Bukan karena Islam telah menurunkan syariat tentang poligami, tapi jauh sebelumnya persoalan poligami sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di setiap zaman.

Islam adalah agama rahmah bagi semesta dan terkhusus bagi pemeluknya, dalam ajaran islam seorang laki-laki memiliki kelebihan dibandingkan wanita, dalam hal pernikahan seorang laki-laki diperkenankan untuk menikah lebih dari seorang istri dengan beberapa ketentuan yang menjadi syarat dibolehkannya bagi pelaku suami untuk melakukan poligami tersbut, adapun dalil yang menjadi sumber di sahkannya poligami adalah.

Pada surat An-Nisa ayat 3 disebutkan

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Kalau merujuk ke ayat di atas, poligami memang nampak sederhana sekali. Bagi laki-laki, nampak sangat mudah jika hanya sekedar adil. Namun, ternyata realita nya tidak seindah itu. Bukan hal yang mudah untuk "tidak aniaya" kepada perempuan jika berbicara poligami dan keadilan. Dengan poligami, bagi perempuan mungkin berarti meruntuhkan kepercayaan diri, mengganggu eksistensi diri dan siksaan lahir batin. Adil dalam hal lahiriyah, seperti harta, pembagian giliran hari, mungkin bisa adil, namun dalam hal perasaan, ini yang sangat sulit, karena memang tidak ada alat ukurnya. Bahkan seorang Rasulullah pun sempat merasakan kesulitan berhadapan dengan ego istri-istrinya dan sempat mengancam keutuhan rumah tangga beliau. Dalam surat yang sama, An-Nisaa' ayat 129, Allah juga menggambarkan betapa sulitnya untuk berbuat adil 100%, yang berbunyi

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Kedua ayat tersebut, An-Nisaa':3 dan An-Nisaa':129, sebetulnya berbeda bab, namun An-Nisaa':129 sangat relevan untuk menggambarkan keadaan ketika terjadi perselisihan rumah tangga, dalam hal ini mereka yang menjadi bagian poligami. Ayat tersebut juga menggambarkan, meskipun seorang laki-laki sangat ingin berbuat adil, namun selalu ada keberpihakan kepada salah satu istri. Ayat ini juga seolah-olah berkata, meskipun laki-laki merasa adil, namun dari sudut pandang wanita hal tersebut bisa berarti tidak adil. Mungkin karena salah satu merasa tidak dibela, tidak dimenangkan dan lain sebagainya. Jika An-Nisaa':3 memihak laki-laki, maka ayat 129 lebih memihak perempuan dan seolah-olah mewakili sudut pandang perempuan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam diterangkan tentang dibolehkannya menikah lebih dari seorang istri, Bab IX pasal 55 ayat satu berbunyi “Beristri lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri”. Dengan syarat utama adalah mampu bertindak adil, pasal dua ini selengkapnya berbunyi “Syarat utama lebih dari seorang, suami harus berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya”. dipasal ke 56 disyaratkan bahwa seorang suami yang akan menikah lagi diwajibkan mendapatkan izin dari pengadilan agama dan bila itu tidak dilakukan maka ia tidak mempunyai kekuatan hukum.

Hal inilah yang akan menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan kelayakan seorang suami untuk menikah lagi, ketetapan ini menjadi pertimbangan bila pihak istri pertama Pasal 57 mengurai syarat bagi istri yang boleh dimadu adalah
a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri
b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. istri tidak dapat melahikan keturunan.
selain syarat itu terdapat syarat yang menjadi jaminan bagi berlangsungan hidup berumah tangga terkait dengan masa depan kedua belah pihak dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, adapun pasal 58 ini menetapkan;

a. mendapat persetujuan istri

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri

dan anak-anak mereka.

Dari pertimbangan dan persyaratan diatas sudah jelas bahwa melaksanakan poligami ada ketentuan-ketentuan yang harus diikuti baik dari syariat agama maupun dari hukum positif, namun kenyataannya banyak kita temukan pendapat pro dan kontra disekitar persoalan ini. Sebagian masyarakat dewasa ini banyak melihat dengan sebelah mata terhadap lelaki yang mempunyai lebih dari satu isteri. Bahkan orang yang berpoligami terkadang menjadi buah bibir dan cemoohan di masyarakat.Banyak tuduhan negatif yang dilemparkan kepada mereka yang berpoligami. Hal ini disebabkan suatu kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka sering menimbulkan masalah dalam keluarganya. Di sisi lain ada orang yang berpandangan bahwa poligami adalah sunnah Rasulullah SAW sehingga mendorongnya untuk melakukan ibadat sunnah sebanyak-banyaknya, termasuk berpoligami.

Pada mulanya, poligami bukan masalah yang besar, hanya sesuatu yang biasa saja. Dan dalam Islam pun, poligami bukan masalah yang perlu dibesar-besarkan sebetulnya. Salah satu syarat dari poligami yang selalu saja dijadikan 'syarat mutlak' adalah adil, karena dalam Al-Quran hal ini diungkapkan.

Sayyid Sabiq : Fiqh Sunnah jilid 6 (1994 : 171) mengatakan

“Allah SWT membolehkan poligami dengan batas sampai empat orang dan mewajibkan berlaku adil kepada mereka dalam urusan makan, tempat tinggal, pakaian dan kediaman, atau segala yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan keturunan yang bawah. Bila suami khwatir bebrbuat zalim dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka semua, maka diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhi hanya tiga orang istri , maka haramlah baginya dengan empat orang isrtri, jika ia sanggup memenuhi dak dua orang istri, maka haram baginya kawin dengan denga tiga perempuan. Begitu pula kalau dia khawatir akan berbuat zalim kalau kawin dua orang perempuan, maka haram baginya melakukannya “, karena Allah berfirman

"Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Keadilan yang diwajibkan oleh Allah SWT pada ayat diatas tidaklah bertentangan dengan dengan firman Alah dalam Surat An-nissa ayat 129

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

Ayat ini meniadakan kesanggupan berlaku adil kepada semua istri, sedangkan ayat diatas mewajibkan berlaku adil, kedua ayat ini tidak bertentangan karena adil yang di tuntut disini yaitu adil dalam masalah-masalah lahiriyah yang dapat dikerjakan oleh manusia bukab adil dalam hal cinta dan kasih sayang. Sebab masalah ini ada diluar kemampuan seorang.berlaku adil yang ditiadakan oleh ayat diatas yaitu adil dalam bercinta dan bersetubuh.

Sayyid Sabiq : Fiqh Sunnah jilid 6 (1994 : 173) Abu Bakar bin Arabiy berkata : memang benar bahwa adil dalam cinta diluar kesanggupan seseorang sebab. Hanya dalam genggaman Tuhan yang membolak balikannya menurut kehendak-Nya, begitu juga dengan bersetubuh terkadang ia gairah denga istri yang satunya, tapu tidak begitu gairah dengan istri yang lainya , asalkan saja perbuatan iini bukan disengaja, maka ia tidak berdosa, sebab hal ini diluar kemampuan manusia.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan, dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya (Pasal 4 ayat 1). Pengadilan dimaksud hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang, apabila istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan istri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 ayat 2). Pada pasal 5 ayat 1, menjelaskan untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: adanya persetujuan dari istri / istri-istri ; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 (Kompilasi Hukum Islam). Pada pasal 55 ayat 1, 2 dan 3 dan dalam pasal 56 ayat 1, menjelaskan : bahwa seorang suami yang ingin beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri dengan syarat utama yaitu suami harus mampu untuk berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Apabila suami tidak mampu untuk memenuhi syarat tersebut maka dia dilarang untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 1, 2 dan 3). Sedangkan pasal 56 ayat 1 menjelaskan : bahwa apabila seorang suami yang hendak beristri lebih dari seorang maka dia harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam.

Sedangkan dalam peraturan pemerintah R.I No.9 Tahun 1975 Tentang pelaksanaan Undang-undang No. I Tahun 1974 tentang perkawaninan (pasal 40) apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan, (pasal 41) a,b,dan c pengadilan memeriksa mengenai ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang kawin lagi ialah “bahwa istrinya tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri dan istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan demikian jelaslah bahwa bagi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang harus dapat memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan dalam Undang-undang, diantaranya : harus mampu untuk berlaku adil, harus ada persetujuan dari istri dan ada izin dari Pengadilan Agama.

Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan . pada masa dimana masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masa masyarakt memandang kedudukan dan derajat perempuan terhormat, poligami pun berkurang. Jadi perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi-rendahnya kedudukan dan derajat perempuan di mata masyarakat.

Ketiak islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan, nabi melakukan perubahan yang radikal sesuai dengan petunjuk kandunagan ayat. Perubahan yang mendasar yang dilakukan Nabi berkaitan dengan dua hal yakni

Pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan pembahasan poligami tersebut diantaranya riwayat dari Naufal Ibn Muawiyah, ia berkat “ ketiak aku masuk islam, aku memiliki lima orang istri , rasulullah berkata”ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat.

Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu mampu berlaku adil. Persyaratan yang ditetapkan bagi kebolehan poligami itu sangat berat, dan hampir dapat dipastikan tidak ada yang mampu memenuhinya, artinya islam memperketat syarat poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia kala dengan demikian, terlihat bahwa praktek poligami dimasa islam sangat bebeda dengan praktek sebelumnya.

No comments:

Post a Comment