Secara bahasa fasik dapat diartikan keluar dari jalan kebenaran, sedangkan menurut istilah fasik dapat diartikan orang yang melakukan dosa besar atau terus menerus melakukan dosa kecil.
Berbeda pendapat beberapa aliran menaggapi tentang kefasikan ini. Menurut pandangan muktazilah orang yang fasik tidak dapat dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan orang kafir, karena telah melanggar nilai-nilai keimanan dengan mengerjakan dosa besar. Mereka tentunya tidak dapat dikatakan seorang mukmin karena pelanggarannya tersebut, dan tidak pula dapat dikatakan kafir karena syahadatain mereka.
Menurut aliran murji’ah, orang yang fasik tetap disebut sebagai seorang mukmin. Walaupun mereka telah melanggar ketentuan hukum. Menurut aliran ini mereka akan masuk ke dalam neraka, tapi tidak kekal di dalamnya seperti yang terjadi pada orang yang kafir.
Hal serupa juga disampaikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, menurut beliau orang yang fasik tetap sebagai seorang mukmin, dan beliau dengan tegas membantah dan menentang faham dari muktazilah yang menyatakan bahwa orang yang fasik bukan kelompok atau keluar dari kelompok mukmin.
Imam Ghazali berkata, bahwa seorang yang pernah mengucapkan dua kalimah syahadat dengan lidahnya dan ada iman di dalam hatinya walaupun iman tersebut tidak disertai dengan amal, orang tersebut masih dikelompokkan sebagai seorang mukmin. Seperti sabda Rasulullah SAW ; “ Akan keluar dari neraka orang yang ada iman di dalam dadanya walaupun sebesar zarah”. ( HR. Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudry ).
Pendapat al-Asy’ari juga didukung oleh Ibnu Taimiyah dari kalangan aliran Salafiyah. Karena menurutnya iman dapat bertambah dan berkurang, orang yang fasik adalah orang yang sedang berkurang imannya bukan hilang atau tercabut sama sekali.
Tentang kedudukan orang fasik dalam hukum Islam, mayoritas ulama memandangnya sebagai orang yang sudah keluar dari kategori adil. Oleh sebab itu mereka tidak dapat dijadikan saksi dalam suatu perikatan atau peradilan, sebab kesaksiannya tidak lagi sah. Sesuai dengan firman Allah pada surah An – Nisaa Ayat 135 :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Dalam surah al-Maidah ayat 8 Allah juga berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dan Allah juga berfirman dalam surah al-Furqan ayat 72 :
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”.
Abu Yusuf al-Qadi ( Perawi hadits, ahli hukum dan hakim agung Baghdad ) memiliki pendapat yang berbeda dengan jumhur ulama. Baginya, orang yang fasik dapat dijadikan saksi apabila suatu peristiwa yang disaksikannya disaksikan oleh orang banyak dan dia memiliki muru’ah ( harga diri ).
Berbeda pendapat beberapa aliran menaggapi tentang kefasikan ini. Menurut pandangan muktazilah orang yang fasik tidak dapat dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan orang kafir, karena telah melanggar nilai-nilai keimanan dengan mengerjakan dosa besar. Mereka tentunya tidak dapat dikatakan seorang mukmin karena pelanggarannya tersebut, dan tidak pula dapat dikatakan kafir karena syahadatain mereka.
Menurut aliran murji’ah, orang yang fasik tetap disebut sebagai seorang mukmin. Walaupun mereka telah melanggar ketentuan hukum. Menurut aliran ini mereka akan masuk ke dalam neraka, tapi tidak kekal di dalamnya seperti yang terjadi pada orang yang kafir.
Hal serupa juga disampaikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, menurut beliau orang yang fasik tetap sebagai seorang mukmin, dan beliau dengan tegas membantah dan menentang faham dari muktazilah yang menyatakan bahwa orang yang fasik bukan kelompok atau keluar dari kelompok mukmin.
Imam Ghazali berkata, bahwa seorang yang pernah mengucapkan dua kalimah syahadat dengan lidahnya dan ada iman di dalam hatinya walaupun iman tersebut tidak disertai dengan amal, orang tersebut masih dikelompokkan sebagai seorang mukmin. Seperti sabda Rasulullah SAW ; “ Akan keluar dari neraka orang yang ada iman di dalam dadanya walaupun sebesar zarah”. ( HR. Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudry ).
Pendapat al-Asy’ari juga didukung oleh Ibnu Taimiyah dari kalangan aliran Salafiyah. Karena menurutnya iman dapat bertambah dan berkurang, orang yang fasik adalah orang yang sedang berkurang imannya bukan hilang atau tercabut sama sekali.
Tentang kedudukan orang fasik dalam hukum Islam, mayoritas ulama memandangnya sebagai orang yang sudah keluar dari kategori adil. Oleh sebab itu mereka tidak dapat dijadikan saksi dalam suatu perikatan atau peradilan, sebab kesaksiannya tidak lagi sah. Sesuai dengan firman Allah pada surah An – Nisaa Ayat 135 :
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”.
Dalam surah al-Maidah ayat 8 Allah juga berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dan Allah juga berfirman dalam surah al-Furqan ayat 72 :
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”.
Abu Yusuf al-Qadi ( Perawi hadits, ahli hukum dan hakim agung Baghdad ) memiliki pendapat yang berbeda dengan jumhur ulama. Baginya, orang yang fasik dapat dijadikan saksi apabila suatu peristiwa yang disaksikannya disaksikan oleh orang banyak dan dia memiliki muru’ah ( harga diri ).
No comments:
Post a Comment