Hukum Islam pada dasarnya merupakan konsep yang
Konsep keadilan Islam dalam ekonomi ( khususnya dalam distribusi pendapatan ) menghendaki seluruh element dalam faktor produksi mendapatkan imbalan sesuai dengan kontribusinya masing-masing. Faktor modal, tenaga kerja, material asset, dan entrepreneurship, harus dihargai secara adil. Dalam pandangan Islam modal ( uang ) dengan sendirinya tidak memiliki banyak makna, modal baru bermakna jika ada faktor lain semisal tenaga kerja. Uang dengan sendirinya tidak akan menghasilkan sesuatu, tetapi jika ingin menghasilkan maka uang harus diinvestasikan pada sektor riil.
Islam sebagai sebuah agama adalah sistem yang memberikan tuntunan bagi umat manusia untuk menjalankan kehidupan ini dengan baik dan benar. Baik yang berkaitan dengan hal-hal yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah), maupun hal hal yang mengatur hubungan manusia dengan manusia yang lainnya (mu'amalah). Ibadah diperlukan dengan tujuan untuk menjaga ketaataan dan keharmonisan hubungan antara makhluq dan Khaliq, serta untuk mengingatkan secara terus menerus tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketentuan-ketentuan muamalah diturunkan untuk menjadi rules of game dalam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial.
Sebagai seorang muslim kita diperintahkan untuk berprasangka baik terhadap sistem Islam. Kita harus yakin bahwa Islam ( termasuk sistem ekonominya ) akan mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Keyakinan ini harus terus dipupuk dan disuburkan khususnya dalam diri ummat Islam. Dengan cara membuka dan menampilkan tatanan teoretis ke dalam tatanan praktis. Jika riba dengan segala modusnya diharamkan, tentunya harus ada jalan keluar yang dapat menggantikan posisinya. Jika lembaga keuangan yang ada masih menjalankan praktek riba, tentunya harus disediakan satu lembaga keuangan yang jauh dari riba. Ketika Allah mengharamkan sesuatu, sesungguhnya Allah menghalalkan yang lain yang jumlahnya jauh lebih banyak dan lebih baik untuk umatNya.
II. LEMBAGA KEUANGAN ISLAM
Lembaga Keuangan Islam atau yang lebih popular disebut Lembaga Keuangan Syari'ah adalah sebuah lembaga keuangan yang prinsip operasinya berdasarkan pada prinsip-prinsip syari'ah Islamiah. Dalam operasionalnya lembaga keuangan Islam harus menghindar dari riba, gharar dan maisir.
Tujuan utama mendirikan lembaga keuangan Islam adalah untuk menunaikan perintah Allah dalam bidang ekonomi dan muamalah serta membebaskan masyarakat Islam dari kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh agama Islam. Untuk melaksanakan tugas ini serta menyelesaikan masalah yang memerangkap umat Islam hari ini , bukanlah hanya menjadi tugas seseorang atau sebuah lembaga, tetapi merupakan tugas dan kewajiban setiap muslim. Menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam berekonomi dan bermasyarakat sangat diperlukan untuk mengobati penyakit dalam dunia ekonomi dan sosial yang dihadapi oleh masyarakat.
The Mit Ghamr Bank Mesir merupakan lembaga keuangan Islam modern pertama yang didirikan pada tahun 1963. Perkembangan dan kemajuan Mit Ghamr menyadarkan para ekonom dan ilmuan muslim, ternyata sistem Islam dapat membawa kemajuan. Tetapi dalam waktu yang bersamaan keberhasilan itu mengundang kecemburuan dan kedengkian orang-orang yang tidak suka dengan sistem Islam, sehingga akhirnya Mit Ghamr ditutup. Kelahiran Mit Ghamr kemudian diikuti oleh pendirian bank-bank Islam di berbagai negara, baik di negara Islam ( mayoritas Islam ) termasuk
Dasar pemikiran dikembangkannya lembaga keuangan Islam di Indonesia adalah untuk memberikan pelayanan kepada sebagian masyarakat
Dikeluarkannya Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan, membuka peluang dibukanya lembaga keuangan yang dioperasikan berdasarkan pada prinsip-prinsip Syari'ah. Bermodalkan peluang yang diberikan undang-undang tersebut, telah berdiri lembaga-lembaga keuangan Syari'ah, yaitu sebuah bank umum (Bank Muamalat
Kemudian pemerintah menyempurnakan UU No.7 / 1992 dengan mengeluarkan UU No. 10 tahun 1998. UU No.10 ini memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi berdirinya lembaga keuangan Islam. Bahkan dalam UU ini Lembaga Keuangan Islam menempati posisi dan kedudukan yang sejajar dengan mitranya yang telah terlebih dulu ada.
III. BENTUK LEMBAGA KEUANGAN ISLAM DI
1. BANK ISLAM
Perbankan seperti yang dikatakan oleh Alvin Toffler dalam bukunya "Third Wave" adalah institusi yang terpenting dalam sistem keuangan modern. Oleh karena itu dapat juga dikatakan memasukkan riba dalam sistem perbankan berarti menerima riba dalam sistem keuangan dan teori-teori yang mencakup dalam bidang itu. Perbankan juga memiliki posisi yang sangat strategis didalam mendorong kegiatan usaha dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu pemerintah harus terus berusaha untuk mengoptimalkan potensi ekonomi masyarakat khususnya ummat Islam melalui perbankan Islam.
Melihat potensi yang sangat besar dari masyarakat Indonesia dan masih mendambakan perbankan tanpa bunga, maka pemerintah Bank Indonesia terus mendorong perkembangan bank Syari'ah baik melalui penyempurnaan ketentuan perbankan maupun upaya-upaya memasyarakatkan Sistem Perbankan Syari'ah.
Untuk menghindari pengoperasian bank dengan sistem bunga, Islam memperkenalkan prinsip mu'amalah Islam sebagai sebuah alternatif perbankan dengan kegiatan usaha seperti berikut :
A. Kegiatan Penghimpunan Dana
Giro ( Wadi'ah )
Tabungan ( Mudharabah )
Tabungan Berjangka ( Mudharabah )
B. Penyaluran Dana
Jual Beli ( Al-Buyu')
* Murabahah
* Salam
* Istishna'
* Ijarah Muntahiyyah Bittamlik
Kerjasama ( Bagi Hasil )
* Musyarakah
* Mudharabah
* Mudharabah Muqayyadah
Jasa ( Ujrah ) - Fee Based
* Qardh
* Rahn
* Hawalah
* Wakalah
* Kafalah
2. ASURANSI ISLAM
Pada dasarnya konsep asuransi dapat diterima dalam Islam selama tidak melanggar prinsip dan aturan yang dilarang oleh Syari'ah. Dan ulama berpendapat bahwa asuransi yang dijalankan sekarang ini mengandung cara-cara yang tidak sesuai dengan Syari'ah. Oleh karena itu perlu dibuatkan alternatifnya.
Fiqh Academy - Organization of Islamic Countries dalam pertemuannya di Jeddah pada tanggal 22-28 Desember 1985 menyimpulkan tentang asuransi :
The commercial insurance contract, with a fixed periodical premium, which is commonly used by commercial insurance companies is a contract which contains major element of risks, which voids the contract and therefore is prohibited (haram) according to the Shari'ah.
The alternatives contract which conforms to the principles of Islamic dealings is the contract of cooperative insurance, which is founded on the basis of charity and cooperation, similarly in the case of reinsurance based on the principles of cooperative insurance.
Komite Fatwa Nasional Malaysia dalam fatwanya tanggal 15 Juni 1972 mengatakan :
Asuransi jiwa yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi sekarang ini adalah transaksi bisnis yang tidak halal, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip bisnis Islami. Perjanjiannya masih mengandung gharar (uncertainty), maisir (gambling) dan Riba (interest).
Berarti asuransi Islam adalah asuransi yang dijalankan berdasarkan prinsip takaful, yaitu suatu skema kerjasama yang dilandasi oleh nilai-nilai ukhuwah, solidaritas, saling membantu untuk memberikan bantuan finansial kepada peserta takaful jika membutuhkannya dan mereka sepakat untuk memberikan konstribusi untuk tercapainya tujuan tersebut. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan konsep dasar takaful adalah : saling bertanggung jawab, saling bekerjasama dan membantu, dan saling melindungi.
Mekanisme pengelolaan dana takaful :
Setiap peserta wajib membayar premi secara teratur kepada pengelola (perusahaan asuransi)
Peserta dapat membayar premi setiap bulan, kwartal, semester, atau tahunan sesuai yang disepakati.
Besar premi tergantung pada kemampuan peserta, tetapi pengelola ( perusahaan asuransi ) dapat menentukan jumlah minimal.
Cara pembayaran dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Setiap premi yang dibayar oleh peserta dipisah dalam dua rekening :
1. Rekening Tabungan. Tabungan ini dalam bentuk tabungan mudharabah, peserta sebagai shahibul maal dan pengelola sebagai mudharib. Tabungan dan bagi hasilnya akan dikembalikan kepada peserta jika perjanjian berakhir, peserta mengundurkan diri atau peserta meninggal dunia.
2. Rekening Tabarru, yaitu kumpulan dana yang diniatkan oleh setiap peserta sebagai iuran kebajikan untuk keperluan tolong-menolong dan saling membantu jika salah seorang peserta mengalami musibah. Jika perjanjian berakhir dan ternyata masih terdapat surplus dana dapat dibagikan kepada peserta.
Takaful juga dapat dijalankan yang preminya seluruhnya adalah tabarru (tidak ada unsur tabungan), tetapi dalam menjalankan jenis ini harus dijalankan dengan sangat terbuka dan dengan pemahaman yang baik. Peserta dan pengelola harus memiliki komitmen yang tinggi. Dalam prakteknya jangan sampai terjadi maisir dan prilaku curang lainnya.
3. REKSA DANA SYARI'AH
Menurut pengertian hukum di Indonesia reksa dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya di investasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi.
Penyerahan dana yang dilakukan oleh investor memerlukan jaminan bahwa pengelola dana tidak melakukan tindakan tidak terpuji. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga yang menjadi penjaga harta yang berbentuk efek. Lembaga itu disebut custodian yang merupakan sebuah bank, karenanya disebut bank custodian.
Semua investasi yang dilakukan oleh Reksadana Syari'ah harus mengikuti batasan-batasan Syar'i secara ketat. Reksadana Syari'ah tidak akan melakukan investasi kedalam perusahaan-perusahaan yang bisnis utamanya memproduksi, menjual, mendistribusikan dan bertransaksi dalam :
Makanan dan minuman haram
Perjudian dan permainan dengan perjudian
Lembaga keuangan ribawi
Pornografi
Dan aktivitas terlarang lainnya.
4. DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
Untuk memperoleh uang pensiun setelah purna tugas merupakan harapan yang ideal bagi setiap pekerja. Apalagi setelah sekian tahun mencurahkan tenaga, waktu dan pikirannya bagi perkembangan dan kemajuan perusahaan tempatnya bekerja, dan wajar kiranya saat usianya sudah lanjut dan tidak produktif lagi perusahaannya masih mengingat jasanya dalam bentuk pemberian pensiun. Namun tidak semua perusahaan menyediakan pensiun dan hanya sedikit sekali perusahaan memberikannya.
Di Indonesia jumlah perusahaan yang membentuk dana pensiun masih sedikit sekali. Dari sekitar 47.000 perusahaan yang memiliki lebih dari 25 pekerja dan mengeluarkan gaji 1 juta perbulan, hanya 700 perusahaan saja yang membentuk dana pensiun. Padahal pemerintah sudah menentukan dua model dana pensiun untuk mendorong perusahaan untuk membentuk program pensiun. Yaitu Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPKK)
Keunggulan dana yang dikelola oleh DPLK dibandingkan dengan tabungan yang disimpan di bank adalah :
1. Penghematan pajak atas iuran peserta. Iuran peserta sampai jumlah tertentu dapat dibebankan sebagai biaya yang akan mengurangi besarnya penghasilan kena pajak. (Pasal 6 ayat (1) huruf c UU No.10 tahun 1994 tentang pajak penghasilan, dan Pasal 4 ayat (3) huruf g, UU NO.10 tahun 1994 )
2. Prinsip penghematan pajak atas hasil investasi. Hasil investasi dana pensiun dalam bidang penanaman modal tertentu memperoleh fasilitas penundaan pajak penghasilan. (SK Menteri Keuangan No.651/KMK.04/1994, yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 4 ayat (3) huruf g, UU NO.10 tahun 1994)
3. Prinsip keamanan dana dari segala macam sitaan (creditor proof). Pasal 20 UU No.11/1992 ayat 1-2 yaitu :
Hak terhadap setiap manfaat pensiun yang dapat dibayarkan oleh Dana Pensiun tidak dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman dan tidak dapat dialihkan maupun disita;
Semua transaksi yang mengakibatkan penyerahan, pembebanan, pengikatan, pembayaran manfaat pensiun sebelum jatuh tempo atau menjaminkan manfaat pensiun yang diperoleh dari Dana Pensiun dinyatakan batal berdasarkan undang-undang ini.
Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari'ah selain memiliki tiga keunggulan diatas tentunya memiliki keunggulan lainnya yaitu dana dikelola dengan konsep Syari'ah dan peserta dapat mengatur sendiri tujuan investasi iurannya.
Sampai sejauh ini baru ada satu DPLK Syari'ah yaitu Dana Pensiun Lembaga Keuangan Bank Muamalat atau DPLK Muamalat.
5. BMT - KOPERASI SYARI'AH
Di Indonesia lembaga keuangan Baitut Tamwil atau Baitu Maal wat Tamwil (BMT) mulai dikenal sejak tahun 1980-an, yaitu dengan berdirinya Baitut Tamwil Teknosa di Bandung dan BT Ridho Gusti di Jakarta. Sayangnya kedua lembaga ini tidak dapat bertahan lama.
BMT yang berkembang sekarang ini adalah BMT yang berkedudukan seperti koperasi yang secara legal operasinya seperti bank (BS atau BPRS) dan dalam bentuk Kelompok Simpan Pinjam (KSP) atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
Melalui peran PINBUK mulai tahun 1995 pertumbuhan BMT mencapai hasil yang cukup memuaskan, yang tersebar hampir seluruh pelosok tanah air yang jumlahnya belasan ribu BMT.
Disamping lembaga-lembaga keuangan tersebut diatas tentunya masih ada lagi lembaga keuangan yang perlu dikembangkan sehingga perannya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Lembaga-lembaga keuangan yang mungkin untuk dikembangkan adalah Lembaga Amil Zakat Profesional, Ijarah (Leasing secara Islam), Pegadaian Islam, dan lain-lainnya.
IV. KENDALA PENGEMBANGAN LKI
Dalam paper ini secara singkat akan dikemukakan beberapa kendala yang dihadapi perbankan Syari'ah di Indonesia sehingga perbankan Syari'ah belum dapat berperan secara optimal bagi dunia keuangan dan masyarakat. Kendala-kendala itu ada yang sifatnya eksternal maupun yang internal.
Kendala-kendala eksternal dan internal tersebut diantaranya adalah :
1. Hukum
Sebelum tahun 1998 perbankan syari'ah berjalan tanpa adanya sandaran hukum yang kokoh dan peraturan operasional perbankan yang sesuai dengan Syari'ah serta perangkat lainnya. Keadaan ini menyebabkan Perbankan Syari'ah berusaha menyesuaikan produk-produknya dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Akibatnya ciri khusus produk Islami belum bisa ditampilkan. Akibat yang lainnya adalah produk-produk itu belum sepenuhnya dapat diterima masyarakat.
2. Likuiditas
Bank Indonesia belum menyediakan fasilitas likuiditas tanpa bunga bagi perbankan Syari'ah, hal ini karena BI menjalankan UU Bank Sentral No.13/1968 yang menyatakan bahwa pendapatan Bank Indonesia adalah bunga.
3. Earning Assets
Standard yang digunakan BI untuk mengukur kolektibilitas antara perbankan Syari'ah dan konvensional adalah sama, padahal dalam perbankan Syari'ah dimungkinkan untuk memperoleh pendapatan nol. Contohnya jika usaha yang dibiayai bank syari'ah secara mudharabah pengembaliannya nol, dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan. Bagi perbankan Syari'ah fenomena ini sesuatu yang normal sebagai "nature of business cycle" yang mengakibatkan penurunan pendapatan, sementara bank sentral akan mengukurnya dengan ukuran pembiayaan pada bank konvensional, dan memasukkannya kedalam kolektibilitas.
4. Akuntansi
Sistem akutansi perbankan di Indonesia mengacu kepada Standard dan Ketentuan Akuntansi Perbankan Indonesia (SKAPI) tanpa ada ketentuan khusus tentang perbankan Syari'ah didalamnya. Ini akan membuat penilaian terhadap pembukuan dalam perbankan Syari'ah tidak sesuai, karena asumsi yang digunakan dalam SKAPI adalah perbankan konvensional.
5. Perpajakan
Perbankan Syari'ah memiliki produk bai' (jual beli), dalam hal ini Perbankan Syari'ah mengalami kendala perpajakan. Produk bai' seharusnya diperlakukan sebagai jual beli riil, bukan pembiayaan, sehingga akan terjadi pajak ganda (double taxation), yaitu pajak jual beli ketika transaksi dan pajak pendapatan pada akhir tahun.
6. Standard Fatwa
Belum adanya keseragaman fatwa tentang beberapa produk perbankan Syari'ah, walaupun sudah ada Dewan Syari'ah Nasional, tetapi setiap Dewan Pengawas Syari'ah di setiap institusi dapat mengeluarkan fatwanya sendiri yang memiliki kemungkinan berbeda dengan yang lain. Hal semacam ini akan membingungkan ummat dan menyulitkan pelaksana di lapangan.
7. Jaringan Bank Syari'ah
Jaringan Bank Syari'ah masih sangat terbatas, keterbatasan jaringan ini sangat berpengaruh terhadap kemampuan pelayanan bank Syari'ah terhadap masyarakat yang mendambakan produk-produk bank Syari'ah.
8. Sumber Daya Insani
Masih sangat terbatasnya sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan prinsip maupun keterampilan teknis, sehingga akan berpengaruh pada kualitas pelayanan.
9. Persepsi masyarakat
Secara umum masyarakat memiliki pemahaman yang terbatas mengenai kegiatan operasional perbankan Syari'ah ; keterbatasan ini menyebabkan sebagian masyarakat memiliki persepsi yang tidak tepat mengenai operasional perbankan Syari'ah.
V. STRATEGI PENGEMBANGAN LKI
Demi untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing lembaga-lembaga keuangan Islam dengan lembaga keuangan lain perlu dirumuskan dan diambil langkah-langkah strategis bagi pengembangan lembaga keuangan Islam. Strategi yang akan dijalankan harus secara komprehensif dengan menganalisa kendala-kendala yang dihadapi, maupun kelebihan-kelebihan yang dimilikinya.
Langkah-langkah konkrit untuk pengembangan lembaga keuangan telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang dipelopori oleh Bank Indonesia. Undang-undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan telah disyahkan dan dalam UU ini telah dinyatakan dengan tegas adanya peluang yang lebih luas bagi pengembangan perbankan Syari'ah. Pasal-pasal dalam UU ini kemudian diikuti dengan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur seluruh kegiatan operasional bank Syari'ah.
Peraturan-peraturan BI yang telah dikeluarkan adalah SK BI tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syari'ah, SK ini dimaksudkan untuk mendorong perluasan jaringan bank Syari'ah. SK BI tentang Giro Wajib Minimum, SK BI tentang Pasar Uang Antar bank Syari'ah, SK BI tentang Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia, SK-SK ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah likuiditas dan instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip Syari'ah. Peraturan yang lainnya adalah peraturan yang berkaitan dengan tugas bank sentral, ketentuan standar akuntansi dan audit, arbitrase mu'amalah, standarisasi fatwa dan lain-lain.
UU No.10, juga telah melahirkan bank Syari'ah - bank Syari'ah baru maupun cabang Syariah. Keberadaan bank-bank baru ini memiliki sumbangan yang positif terhadap perkembangan Perbankan Syari'ah. Bank-bank ini diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Sosialisasi perbankan Syari'ah juga akan semakin gencar dan meluas. Sebelumnya tugas ini hanya dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia sebagai single player, kini dilakukan juga oleh rekan - rekannya yang lain. Dengan bertumbuhnya bank Syari'ah dimungkinkan untuk terjalinnya kerjasama antar bank Syari'ah. Kerjasama ini diperlukan antara lain dalam hal penempatan dana antar bank yang diperlukan untuk mengatasi masalah likuiditas. Pertumbuhan ini juga memiliki arti penting untuk meningkatkan persaingan, sehingga masing-masing akan berusaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan mendorong variasi produk dan jasa perbankan Syari'ah. Yang pada gilirannya dapat memberikan sumbangan bagi peningkatan efisiensi bagi pengoperasian perbankan Syari'ah.
Permasalahan kekurangan SDI dalam perbankan Syari'ah dalam berbagai tingkatan disebabkan masih sangat terbatas lembaga pendidikan dan pelatihan perbankan Syari'ah, baik di dalam maupun di luar negri. Kebutuhan mendesak jangka pendek mungkin dapat dilakukan dengan cara melatih SDI perbankan dalam pelatihan operasional perbankan Syari'ah, workshop, seminar dan lain-lain. Pengembangan SDI perbankan Syari'ah dalam jangka panjang bukan hanya pada aktifitas pelatihan atau training yang bersifat teknis dan memenuhi kebutuhan jangka pendek, tetapi juga diarahkan kepada kegiatan penelitian dan pendidikan jangka panjang. Dengan berdirinya bank Syari'ah - bank Syari'ah baru, berarti permintaan terhadap lulusan yang memiliki latar belakang ini akan banyak, dan permintaan terhadap pendidikan formal dalam bidang ekonomi Islam akan banyak. Pengelola lembaga pendidikan juga dituntut agar dapat merespons kebutuhan ini.
VI. KETAHANAN BANK SYARIAH
Dalam sistem moneter konvensional tidak terjadi keterkaitan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter telah berkembang sedemikian rupa cepatnya melanglangbuana menyeberangi samudera, sedangkan sektor riil tertinggal jauh dibelakang. Uang tidak lagi hanya menjadi sekedar sebagai alat tukar, melainkan telah menjadi barang komoditi, akibat adanya motif spekulasi dari orang-orang kaya. Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Maurice Allais- peraih Nobel tahun 1988 dalam bidang ekonomi, dari sebanyak US$ 420M uang beredar didunia per hari, hanya sebesar US$12.4M saja yang digunakan untuk keperluan transaksi dan sisanya adalah untuk keperluan spekulasi dan judi.
Dalam perbankan Syari'ah harus terjadi keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter tidak boleh berjalan sendiri meninggalkan sektor riil. Keterikatan pada akad-akad Syari'ah bersifat mutlak, maka pada sisi asset tidak akan terjadi perubahan pada marjin (walaupun bunga berubah) karena harga telah disepakati di awal. Sementara pada akad pembiayaan seperti mudharabah, pendapatan (bagi hasil) bank akan sangat dipengaruhi oleh keadaan sektor riil, bukan sektor moneter.
Basis pendapatan bank Syari'ah bukan bunga, oleh karena itu perbankan Syari'ah tidak mengalami negative spread seperti yang dialami oleh bank-bank konvensional. Krisis moneter yang baru kita alami dapat dijadikan bukti bahwa bank Syari'ah (BMI) dengan segala kekurangannya masih dapat bertahan.
VII. DARI MURABAHAH MENUJU MUSYARAKAH, UPAYA MENDORONG OPTIMALISASI SEKTOR RIIL
Murabahah ternyata mendominasi portofolio bank syariah. Kendati tidak dapat disalahkan secara fiqh dan orientasi kebijakan perbankan, pilihan kebijakan ini mengandung sejumlah resiko: mulai dari penyimpangan dalam praktik yang mengancam keabsahan operasi secara syariah, sampai kepada sulitnya menciptakan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riel. Yang disebut terakhir - keseimbangan sektor moneter dan riel - adalah salah satu pilar yang dapat menjamin pertumbuhan ekonomi yang sehat.
Makalah ini menawarkan sebuah pola agar terjadi keseimbangan antara sektor riel dan moneter melalui aplikasi musyarakah. Untuk itu diperlukan beberapa prasyarat. Keseimbangan portofolio perbankan syariah yang proporsional antara sektor keuangan dan riel akan menjamin pergerakan dan pertumbuhan sistem ekonomi syariah yang didambakan semua pihak.
Sudah menjadi fenomena umum, baik di tingkat dunia, maupun di Indonesia, bahwa dalam perkembangan gerakan ekonomi Islam terjadi kecenderungan tidak seimbangnya kegiatan di sektor monoter atau keuangan dan riel [Adnan, 2003; lihat juga Tohirin, 2003, Karim 2002]. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, misalnya, pertama: bahwa perkembangan gerakan ekonomi Islam lebih ditandai oleh banyaknya pendirian lembaga keuangan, baik yang bersifat perbankan, maupun lembaga keuangan non-bank (bila dipakai perspektif pendekatan konvensional ) seperti takaful, pasar modal, reksadana, obligasi syariah sampai dengan pegadaian syariah. Kedua, sesuai dengan ‘fitrah’nya, lembaga keuangan tersebut memang hanya banyak berkutat pada sektor moneter, dan tidak terlalu berarti dalam membangun dan mengembangkan kegiatan ekonomi di sektor riel.
Pengalaman sudah membuktikan, bahwasanya penekanan terlalu jauh kepada sektor keuangan dan mengabaikan sektor riel dapat berakibat lumpuhnya ekonomi itu sendiri. Apa yang dialami bangsa ini sejak beberapa tahun yang lalu dan memuncak dengan munculnya krisis moneter sejak pertengahan tahun 1997 adalah pelajaran amat berharga dari kelalaian semua pihak dalam memperhatikan pentingnya keseimbangan antara sektor riel dan moneter. Namun, sekali lagi, penulis khawatir bahwa banyak pihak sudah lupa akan pelajaran penting tersebut, sehingga sejauh ini, belum banyak terdengar upaya yang mengarah kepada keseimbangan kedua sektor ekonomi yang saling menunjang itu, termasuk dalam konteks gerakan ekonomi Islami.
Data yang ditunjukkan oleh Mujiyanto [2004, 14-5] dalam reportasenya di majalah Modal, dengan jelas mengindikasikan hal tersebut. Untuk tahun 2003 misalnya, portofolio produk pendanaan atau pembiayaan Musyarakah hanyalah 2,86%, dan Mudharabah sebesar 14.33%. Sebaliknya produk pembiayaan Murabaha mendominasi hingga 71,21%. Data yang disajikan Mujiyanto merupakan kondisi rata-rata yang merefleksikan portofolio produk perbankan syariah nasional secara keseluruhan, dan bukan terjadi dalam satu dua kasus bank syariah yang ada. Artinya, data tersebut secara langsung menggambarkan kecenderungan umum pola operasi perbakan syariah di negeri ini.
Bukan kebetulan rasanya, bila Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah mengemukakan kekhawatiran yang sama dalam kesempatan menyampaikan keynote speech-nya dalam pertemuan Konvensi dan Deklarasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia di Jakarta, 3 Maret 2004 yang lalu di Jakarta .
Data (untuk posisi November 2004) yang dilaporkan dalam Laporan Perkembangan Perbankan Syariah 2004 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia [2004, 14] juga menguatkan informasi di atas, ketika Musyarakah baru mencapai 10,9%, Mudaharabah 17,4%, sedangkan Murabahah masih mendominasi di posisi 66,3%.
Beranjak dari fenomena inilah, menurut penulis harus dipikirkan jalan keluar agar gerakan ekonomi Islam tidak mengulangi kesalahan seperti dalam sistem ekonomi nasional beberapa waktu yang silam, yang menyebabkan terjadinya bubble growth, dan akhirnya membawa malapetaka munculnya krisis moneter dan berkembang menjadi multidimenasi yang belum juga dapat diakhiri sampai kini. Bila sampai terjadi pengulangan kesalahan dalam sistem ekonomi Islam yang sekarang sedang digalakkan, maka akan muncul tuduhan atau pertanyaan, apalah bedanya sistem ekonomi Islami dengan sistem lain [konvensional] yang tidak mampu membawa perubahan kesejahteraan dalam masyarakat?
VIII. MURABAHA DAN PERMASALAHANNYA
Seperti sudah disinggung di muka, bahwasanya kenyataan menunjukkan produk murabaha sudah mendominasi portofolio perbankan syariah, baik yang berbentuk Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) bahkan sampai pada tingkat Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Adakah yang salah atas pilihan murabaha ini?
Jawabannya tentu tergantung dari sudut mana persoalan ini harus dipandang. Bila dilihat dari kacamata fiqh, jelas tidak ada aturannya. Fiqh [dalam pengertian normatif], tidak pernah mengatur portofolio produk sebuah lembaga keuangan syariah seperti bank. Tidak ada istilah proporsi halal atau haram dalam pengaturan portofolio produk atau jasa perbankan syariah. Oleh karena itu, adalah sah dan boleh saja bila sebuah bank syariah lebih mengutamakan menjual produk pembiayaan murabaha itu. Dalam bahasa lain, hal ini lebih bersifat kebijakan bisnis sebuah lembaga keuangan syariah, dan tergantung tentunya kepada kepentingan apa yang ada dibalik kebijakan itu.
Bila lalu digunakan sudut pandang kepentingan lembaga bank itu sendiri, justru pilihan atas murabaha dibandingkan mudharabah atau musyarakah adalah pilihan yang paling menarik, menguntungkan dan relatif mengandung resiko kecil. Mengapa? Ada sejumlah alasan. Pertama, barangkali murabaha adalah produk yang mudah diekivalenkan dengan pola perbankan [baca: kredit] konvensional. Konsekuensinya, produk ini mudah dipahami oleh bank dan masyarakat sekaligus. Oleh karena itu pula, produk ini mudah disosialisasikan. Kedua, karena bentuknya yang mudah dipahami, maka juga mudah dilakukan perhitungan, sehingga produk murabaha relatif mudah dijual, dan sekaligus mengandung resiko kecil di mata bank. Oleh sebab itu, adalah wajar bila perbankan syariah lebih menyukai dan membesarkan portofolio dalam bentuk produk murabaha tersebut. Namun, pandangan normatif fiqh dan kepentingan perbankan syariah saja, tentu tidak cukup untuk menilai persoalan murabaha ini. Ada sejumlah persoalan lain yang patut dicatat dalam praktik murabah, misalnya:
Pertama, praktik murabaha mempunyai potensi yang mudah untuk disalah gunakan. Sering terdengar keluhan bahwa dalam menjual produk murabahah, bank syariah bertindak seperti menjual kredit konvensional. Menurut definisi, murabaha “adalah jual-beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.” [Antonio, 2000, 145]. Sebuah konsekuensi dari murabaha adalah pihak bank haruslah melakukan pembelian dan kemudian menjual kembali dengan margin yang disepakati. Namun sering terdengar cerita, khususnya dari pihak nasabah, bahwa [oknum] perbankan syariah menjualnya hampir tidak berbeda dengan dengan ‘menjual’ kredit konvensional, misalnya dengan langsung memberikan ekivalensi margin, dan tidak mau tahu dengan produk apa yang akan dibeli nasabah, bahkan juga tidak melihat langsung properti yang akan dijualnya itu. Lebih celaka lagi lagi, tidak jarang terdengar, terminologi ‘bunga’ masih muncul sebagai padanan terminologi ‘margin’, padahal keduanya berbeda dalam kacamata syariah [lihat misalnya QS Al-Baqarah (2):275]. Bagi awam, baik yang pragmatis maupun idealis, ini tentu menimbulkan pertanyaan besar, dan berujung pada tuduhan bahwa bank syariah hanya melakukan proses ganti jaket atau istilah, tanpa merubah substansi operasinya sesuai dengan prosedur syariah itu sendiri. Pada gilirannya, boleh jadi muncul kehilangan rasa percaya kepada bank syariah khususnya dan sistem ekonomi Islami, pada umumnya. Pertanyaan dan tuduhan yang lebih keras muncul, manakala besarnya margin yang dipatok bank syariah, ternyata sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan bunga bank konvensional. Sehingga, menjadi amat sulit menjelaskan sisi syariah bank Islam itu, di mata sebagian tertentu masyarakat .
Kedua, secara makro, pilihan yang lebih banyak pada penjualan produk murabaha oleh perbankan syariah sejauh ini membuat nuansa moneter menjadi lebih menonjol dalam kegiatan gerakan ekonomi Islam sendiri dibandingkan sektor riel [betapapun mungkin ini tidak bersifat sangat mutlak], seperti halnya kredit uang dalam perbankan atau lembaga keuangan konvensional . Apalagi, kebanyakan properti yang dijual dengan cara murabahah jauh lebih banyak yang bersifat konsumtif daripada produktif, seperti sepeda motor, kendaraan roda empat, rumah dan semacamnya. Padahal, sulit disangkal betapa perlunya keseimbangan antara sektor riel dan moneter, agar jalannya ekonomi harmonis dan tumbuh secara sehat [lihat Adnan 2003; Tohirin 2003]. Berdasarkan kondisi di ataslah maka membiarkan bengkaknya porsi murabaha dalam portofolio perbankan syariah mengandung bahaya yang mengancam perekonomian nasional, dan bahkan mengancam keberhasilan gerakan ekonomi Islami itu sendiri.
IX. MUDHARABAH ATAU MUSYARAKAH?
Sesungguhnya produk mudharabah dan musyarakah merupakan dua produk perbankan syariah yang berpotensi sangat besar dalam menciptakan keseimbangan sektor moneter dan syariah . Mengapa demikian? Karena kedua produk ini betul-betul melibatkan dua pihak yang sedang bergerak mengelola sektor usaha yang tidak usah diragukan memberikan nilai tambah pada gerakan ekonomi secara langsung.
Mudharabah, misalnya per definisi adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih, yang mewajibkan salah satu pihak hanya menyediakan modal, sehingga yang bersangkutan disebut sebagai shohibul maal, dan pihak lain semata-mata menyediakan keahliannya (mudharib). Dalam hal terjadi laba, maka kedua belah pihak akan berbagi laba sesuai dengan proporsi yang sudah disepakati di awal kontrak atau aqad antara kedua belah pihak, dan bilamana terjadi kerugian normal, maka kerugian finansial akan ditanggung oleh shohibul maal, sedangkan kerugian lain yang bersifat non-finansial atau non-material akan ditanggung oleh mudharib. Sebaliknya, bila kerugian terjadi akibat kelalaian yang disengaja pihak mudharib, maka kerugian tersebut menjadi tanggungjawab yang bersangkutan sepenuhnya [lihat Antonio, 2002; Vogel and Hayes, 1998].
Di sisi lain, musyarakah dapat dipahami sebagai kerjasama dua pihak atau lebih. Masing-masing pihak memberikan kontribusi modal, baik finansial maupun keahlian. Berbeda dengan mudaharabah, maka dalam hal musyarakah, baik laba maupun rugi [normal] akan dinikmati dan ditanggung secara proporsional antara kedua pihak yang terlibat dalam syirkah tersebut [Antonio, 2002; Vogel and Hayes, 1998].
Dua pengertian di atas, baik mudharabah maupun musyarakah menunjukkan dengan jelas bahwa keduanya dapat dipastikan merupakan kerjasama ideal yang melibatkan dua sektor ekonomi sekaligus dan sangat mendorong sektor riel untuk berkembang. Namun, seperti sudah disinggung dimuka dan terlihat jelas dalam Tabel 1, portofolio perbankan syariah untuk kedua produk ini relatif jauh lebih kecil dibandingkan murabaha, misalnya.
Ada sebuah ironi lain yang terjadi dalam konteks sosialisasi perbankan syariah selama ini. Tidak jarang, dalam kegiatan pengenalan perbankan syariah, dan dalam berbagai wacana ekonomi Islam, mudharabah menempati posisi di muka dalam penjelasan dan contoh. Bahkan seakan-akan mudharabah menjadi produk andalan yang akan dijual pertama. Namun, dalam kenyataan, terjadi sebaliknya. Data di atas menunjukkan dengan jelas kesenjangan antara Mudharabah dalam teori dan praktik. Adakah yang salah dengan mudharabah?
Mudharabah memang sebuah produk ideal. Kendati diakui tidak orisinil dikembangkan oleh Islam sendiri – karena sudah dikenal sebelum Islam disyiarkan oleh Muhammad SAW – mudharabah justru sudah dicontohkan oleh Muhammad SAW sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Seperti umum diketahui, Muhammad SAW melakukan kegiatan mudharabah dengan seorang janda kaya, yang kemudian menjadi istri beliau, yakni Siti Khadijah. Namun, berpijak pada definisi mudharabah berikut contoh yang diberikan Nabi Muhammad saw, mudharabah pada dasarnya ideal dengan sejumlah prasyarat, seperti keharusan sikap jujur para pihak yang terlibat, terjaganya sistem pembukuan yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan, dan adanya sikap amanah, khususnya dari pihak mudharib.
Dalam kondisi riel di Indonesia, kendati mudharabah diakui mencapai rata-rata 14,33% dari total pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah, maka harus dipahami bahwa mudharabah yang dilakukan menempuh prosedur yang sangat dapat diperdebatkan. Misalnya saja, bahwa hampir tidak ada pembiayaan mudharabah yang tidak melibatkan kontribusi modal pihak mudharib. Ini jelas tidak sesuai dengan aturan dasar mudharabah itu sendiri, karena – seperti diungkapkan di atas – bahwa dalam perjanjian mudharabah maka modal finansial seseungguhnya menjadi tanggungjawab pemilik modal atau shohibul maal. Sebaliknya, mudharib memang hanya cukup bertanggungjawab pada sisi ketrampilan dan operasional. Oleh karena itu, mudharabah yang saat ini dilakukan lebih merupakan quasi mudharabah, pseudo mudharabah, atau setidaknya mudharabah yang sudah dirubah (modified mudharabah). Selain tidak sesuai dengan definisi baku mudharabah, praktik ini mempunyai beberapa resiko lagi, misalnya:
Pertama, mudah mengalami atau rentan terhadap penyimpangan, karena sering kali pihak mudharib tidak melengkapi diri dengan akuntanbilitas yang memadai dengan laporan keuangan yang auditable. Persoalan ini memang tidak mudah diatasi, karena berkaitan dengan buruknya budaya akuntansi di banyak perusahaan di negeri ini.
Kedua, di sisi lain, mudharabah menuntut prasyarat kejujuran dan keterbukaan, apalagi dalam konteks mudharabah ada sebuah pengertian bahwa pihak shohibul maal seakan-akan tidak mempunyai hak intervensi sedikitpun dalam proyek bisnis yang sedang dijalankan oleh pihak mudharib.
Ketiga, akibat dari dua kondisi di atas, seringkali pihak bank mematok nisbah bagi hasil yang barangkali relatif cukup besar bagi bank, dan sebaliknya lebih kecil bagi nasabah. Manakala nisbah bagi hasil tersebut diekivalenkan dengan tingkat bunga bank, akan terasa bahwa porsi yang harus dibayarkan pihak nasabah menjadi lebih mahal dibandingkan dengan bunga bank konvensional .
Berdasarkan berbagai kondisi di atas, penulis memandang bahwa memang cukup banyak masalah yang harus dihadapi mudharabah. Dan oleh karena itulah, bagi penulis, mempertimbangkan musyarakah sebagai sebuah solusi menjadi cukup menarik, dibandingkan mudharabah.
X. MUSYARAKAH DAN PERSOALANNYA
Di atas, sudah disinggung pengertian musyarakah. Ada persamaan musyarakah dan mudharabah, namun ada juga perbedaannya yang cukup mendasar. Diantara persamaan musyarakah dan mudharabah adalah pertama, keduanya melibatkan pihak bank dan nasabah dalam sebuah kegiatan proyek bisnis riel dalam bentuk kemitraan atau partnertship. Jadi berbeda dengan murabahah yang semata-mata menjadikan hubungan bank dan nasabah sebagai pihak dan penjual saja, sehingga tidak banyak berbeda [dalam batas tertentu] dengan perilaku bank konvensional. Kedua, kedua produk ini cenderung memperkuat sektor riel, dan tidak semata-mata mendorong sektor moneter. Lebih jauh misalnya, baik mudharabah maupun musyarakah – karena bersentuhan langsung dengan sektor riel – pada gilirannya akan mampu menghidupkan kegiatan ekonomi dalam bentuk pembukaan lapangan kerja baru, yang menimbulkan lahirnya daya beli dalam masyarakat sehingga ekonomi bergulir secara lebih sehat dan merata.
Namun demikian, terdapat perbedaan antara mudharabah dan musyarakah, misalnya dalam hal :
Pertama: beban kontribusi. Kalau dalam mudharabah, maka ada garis pemisah yang tegas antara shohibul maal [yang hanya memberikan kontribusi modal sepenuhnya] dan mudharib [yang menyediakan ketrampilan sepenuhnya] maka dalam musyarakah, kedua belah pihak bersyerikat dalam bentuk yang lebih imbang, artinya kedua pihak sama-sama harus memberikan kontribusi modal dan keahlian .
Kedua, pola operasi. Ada kesan sangat kuat, bahwa dalam operasi proyek mudharabah, pihak mudharib mempunyai otoritas penuh, seakan-akan pihak shohibul maal tidak mempunyai hak intervensi apapun, kecuali menunggu hasil akhir jadi dan dilaporkan. Sebaliknya, dalam musyarakah kedua belah pihak mempunyai hak yang lebih wajar dalam monitoring bahkan intervensi operasi. Secara tidak langsung, pola ini dapat mengurangi salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh mudharabah, yakni moral hazard yang dilakukan pihak mudharib terhadap shohibul maal. Keuntungan lain adalah bahwa kedua partner dapat saling mengawasi, dan sekaligus memberikan ketrampilan sebatas kemampuan masing-masing pihak.
Ketiga, pola bagi hasil. Kalau dalam mudharabah terjadi laba, maka situasinya tidak berbeda dengan musyarakah, kecuali mungkin besaran nisbah yang disepakati semula. Artinya laba akan dibagi sesuai dengan perjanjian atau akad yang sudah disepakti pada awal proyek. Namun, manakala terjadi proyek rugi, bila ini merupakan kerugian normal, maka pihak shohibul maal yang akan menanggung sepenuhnya secara finansial, sedangkan kerugian non-finansial menjadi tanggungjawab mudharib. Ini berbeda sama sekali dengan musyarakah yang sepenuhnya menerapkan pola bagi hasil atau bagi laba dan atau rugi (profit and loss sharing). Artinya, baik laba maupun rugi akan dibagi secara proporsional antara kedua belah pihak. Ini memberikan perasaan lebih adil bagi semua pihak yang terlibat.
Bila dibandingkan dengan praktik mudharabah, khususnya dalam posisi bank sebagai pihak mudharib, masih terdapat satu “penyimpangan” yang masih dapat diperdebatkan. Seperti lazim diketahui, bahwa selama ini apa yang dilakukan perbankan syariah dalam posisinya sebagai mudharib adalah revenue sharing, dan belum profit sharing. Dalam hal seperti ini, nilai-nilai keadilan yang dijunjung oleh ekonomi Islami dapat menjadi persoalan, karena selalu ada pihak yang “secara relatif pasti” diuntungkan, dan ada pihak yang “mungkin” atau dapat dirugikan. Namun, tampaknya hal ini masih dapat diterima secara umum, dengan pertimbangan taktis dan umur perbankan syariah yang masih sangat muda.
XI. PENGALAMAN EMPIRIS VENTURE CAPITAL
Bila mau berkaca, maka ada pelajaran penting yang dapat diambil dari pengalaman venture capital. Venture capital pada hakekatnya tidak berbeda secara substantif dibandingkan dengan musyarakah. Pengalaman di banyak tempat dan banyak negara, termasuk negara maju, membuktikan betapa besar dan pentingnya peran yang disumbangkan oleh jenis usaha venture capital ini pada pengembangan usaha dengan basis yang lebih adil, dibandingkan praktik perbankan konvensional.
Sudah umum diketahui, betapa sejumlah perusahaan kaliber dunia seperti Microsoft dan Macintosh computer memulai usahanya dengan bekerjasama modal bersama perusahaan Venture Capital. Di dunia barat pada umumnya, cukup tinggi pengakuan akan peran dan kontribusi jenis perusahaan Venture Capital sebagai mitra usaha dalam permodalan. Terbukti kemudian bahwa usaha yang dibantu seperti Microsoft dan Macintosh melejit menjadi perusahaan raksasa kaliber dunia, dan usaha-usaha jenis Venture Capital tetap bisa survive dalam posisi mereka sebagai perusahaan mitra modal.
Seperti diungkapkan di muka, bahwa pada hakekatnya tidak ada perbedaan substansi antara praktik venture capital dan musyarakah. Oleh karena itu, mestinya perlu menjadi pertanyaan dan pelajaran bagi dunia perbankan syariah, mengapa hal ini tidak dijadikan insipirasi, sehingga salah satu kelemahan perbankan syariah dalam “potofolio produk” dan sekaligus rendahnya peran bank syariah dalam mendorong pertumbuhan sektor riel dapat diatasi. Di sisi lain, memperbesar porsi musyarakah dapat pula memberikan potensi keuntungan yang jauh lebih besar bagi bank syariah
XII. ALTERNATIF SOLUSI
Bila tida ada sebuah terobosan yang berarti, maka dengan kondisi yang sekarang terjadi, rasanya sulit mengharapkan perubahan yang berarti dalam portofolio perbankan syariah. Dalam jangka panjang, kinerja bank syariah tidak akan banyak berbeda dengan apa yang sekarang terjadi, dan bukan tidak mustahil, pada gilirannya perbankan syariah akan mengulangui kegagalan perbankan konvensional.
Dalam sebuah kesempatan diskusi kecil antara penulis dan seorang bankir syariah, terungkap salah satu masalah “besar” yang dikeluhkan ketika harus memperbesar porsi portofolio musyarakah itu. Sang bankir menyatakan betapa bank syariah akan kerepotan bila dalam musyarakah, pihak bank juga harus memberikan kontribusi ketrampilan stafnya. Bukankah ini sebuah dilemma juga bagi bank syariah.
Dikisahkan lebih jauh oleh bankir tersebut bahwa, ketika sebuah aqad musyarakah disepakati, dan bank harus “menanam” orangnya dalam proyek tersebut, untuk – katakan – masa tiga tahun, maka selama tiga tahun tersebut, bank harus merelakan dirinya kekurangan satu tenaga ahli. Lalu, bagaimana kalau dalam satu tahun bank tersebut melayani 100 atau lebih aqad musyarakah?
Keluhan sang bankir tentu dapat dimaklumi, dan dipahami sebagai salah satu kendala besar dalam memperbesar portofolio musyarakah. Namun, menurut hemat penulis, dibalik masalah ini, justru lahir sebuah peluang besar dan menjanjikan.
Berpijak – misalnya – pada rencana dan komitmen bank syariah untuk memperbesar portofolio musyarakah, sebagai jawaban pada masalah besar yang diungkap pada awal makalah ini, maka dapat didirikan sebuah perusahaan jasa penyedia jasa keahlian. Dalam hal ini, bank syariah dapat ikut memiliki saham secara kolektif, ataupun individual. Perusahaan baru ini, sangat mungkin didirikan, karena berbagai pertimbangan berikut ini:
Pertama, tersedianya banyak tenaga ahli dengan berbagai pengalaman di berbagai sektor industri. Akibat deraan krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis multi dimensi, telah puluhan atau mungkin ratusan ribu orang yang harus menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK besar-besaran ini tidak harus dilihat bahwa mereka tidak mempunyai kompetensi manajerial. Mereka yang mengalami nasib PHK adalah potensi tenaga manajerial yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan perluasan pasar musyarakah. Bank yang melakukan akad musyarakah tidak perlu lagi menugaskan karyawannya sendiri untuk ikut dalam manajemen proyek musyarakah tersebut, tetapi cukup merekrut tenaga profersional yang dapat disewa atau dikontrak dari perusahaan jasa profesional yang akan didirikan ini.
Kedua, pendirian perusahaan penyedia jasa profesional tidak memerlukan investasi terlalu besar dan manajemen yang rumit. Tugas perusahaan ini hanyalah menghimpun kaum profesional yang memerlukan pekerjaan dan menyalurkan mereka ke berbagai proyek pembiayaan musyarakah yang akan atau sedang dilakukan oleh bank syariah. Beban yang timbul akibat rekruting ini dapat dijadikan sebagai bagian dari biaya proyek atau pembiayaan musyarakah.
Banyak manfaat yang dapat diharapkan dari pendirian perusahaan seperti ini, antara lain yakni:
Pertama, membuka peluang kerja bagi tenaga profesional yang selama ini belum berhasil mendapatkan pekerjaan, baik karena mereka yang mengalami pemutusan hubungan kerja, maupun yang baru tamat dari pendidikan.
Kedua, membuka peluang bank syariah untuk memperbesar porsi produk musyarakah. Kalau selama ini mungkin ada kekhawatiran bahwa bank akan kehabisan stock tenaga kerja internal akibat harus bertugas dalam proyek musyarakah dengan para nasabah, maka hal itu tidak perlu lagi terjadi, karena dapat dilakukan outsourcing dengan cara mengontrak para manajer profesional sesuai dengan bidang keahlian dan latar belakang pengalaman masing-masing. Para profesional itulah yang akan bekerja pada proyek pembiayaan musyarakah atas nama bank syariah, selama proyek berlangsung.
Ketiga, bank dapat melakukan penghematan atau terhindar dari munculnya beban tetap (fixed cost) kalau bank melakukan oursourcing tenaga ahli dengan sistem kontrak. Bank tidak perlu biaya rekruting yang mahal dan biaya pembinaan serta mungkin berbagai beban tetap yang bersifat jangka panjang lainnya. Begitu kontrak musyarakah diakhiri, bank syariah cukup mengembalikan tenaga ahli tersebut kepada perusahaan induknya lagi.
Keempat, manfaat yang paling penting adalah bahwa produk musyarakah semakin membesar dan diharapkan memberikan multiplier effect secara lebih makro. Misalnya: nasabah – dengan pembiayaan musyarakah dapat membesar skala usahanya, membesarnya usaha nasabah berpeluang menambah laba yang berujung pada sedikitnya dua hal, yakni makin sejahteranya stakeholder perusahaan itu, dan makin besarnya dana zakat yang dihasilkan akibat terjadinya tambahan income. Selain itu, pembesaran usaha juga menciptakan lapangan kerja baru, atau mengurangi tingkat pengangguran. Berkurangnya pengangguran akan berakibat lebih sejahteranya masyarakat dalam arti luas: finansial ekonomis dan munculnya rasa lebih aman atau berkurangnya tingkat kriminalitas.
Kelima, dengan membesarnya produk musyarakah yang notabene berkaitan erat dengan sektor riel, maka selain terjadi nilai tambah ekonomis dalam kegiatan masyarakat sehari-hari, maka terjadi pula keseimbangan sektor keuangan dan sektor riel, yang pada gilirannya membuat gerakan ekonomi menjadi lebih solid dan lebih sehat.
XIII. IKHTITAM
Allah Maha Adil dengan menciptakan semua jenis makhluq berpasang-pasangan: siang – malam, kecil – besar, tinggi – rendah, laba – rugi, pria – wanita, tua – muda dan seterusnya. Perubahan-perubahan yang terjadi antara dua pasangan itulah membuat alam menjadi dinamis bergerak dari waktu ke waktu. Pergerakan akan menjadi nyaman bilamana ada keseimbangan yang dinamis antara dua pasang makhluk itu, dan sekaligus akan terjadi gerakan dinamis yang sangat tidak nyaman bila dua makhluk berpasangan mengalami ketimpangan luar biasa.
Belajar dari hal di ataslah, maka perlu mencintakan keseimbangan misalnya antara sektor keuangan (finance) dan sektor riel. Munculnya krisis monoter dan krisis ekonomi sejak tahun 1997 antara lain adalah karena adanya ketidak seimbangan pembangunan dan pengembangan ekonomi pada masa itu dan sebelumnya. Sulit disangkal bahwa terjadi pengembangan sektor finance yang luar biasa dan sekaligus tertinggal jauhnya sektor riel. Diantara akibatnya adalah terjadinya krisis tersebut. Tidak mudah pula untuk menyangkal bahwa perkembangan sektor keuangan yang luar biasa juga dipicu oleh sistem kapitalisme yang melanda dunia pada umumnya dan Indonesia khususnya. Belajar dari kasus itulah, seyogyanya semua pihak belajar untuk tidak terjebak pada lubang yang sama dua kali.
Apa yang ditawarkan makalah ini, sebagiannya adalah upaya untuk mengambil hikmah dari pelajaran penting ketidakseimbangan itu. Entah kebetulan entah tidak, gejala sementara yang ditunjukkan oleh gerakan ekonomi Islam yang dimotori oleh perbankan syariah menunjukkan gejala yang sama, ketika porsi murabahah mendominasi portofolio perbankan syariah. Semoga pemikiran sederhana ini dapat menjadi penawar atas masalah ekonomi yang dapat terjadi lagi, bila melihat trend yang ada sejauh ini.
No comments:
Post a Comment