Tuesday, 2 June 2009

Hak

Secara simantik hak berarti milik, harta dan sesuatu yang ada secara pasti, seperti yang tercantum dalam al-Qur’an surah Yasin ayat 7 yang artinya : “Sesungguhnya Telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka, kerena mereka tidak beriman”.

Para fukaha’ berbeda pendapat tentang makna dari hak tersebut, ada ulama’ yang mengatakan bahwa hak mencakup hal-hal yang berdifat materi, sementara di pihak lain ada beberapa ulama’ yang mengartikan bahwa hak juga terkait dengan hal-hal yang bersifat non materi seperti hak Tuhan dan hak hamba.
Ibnu Nujaim mengatakan bahwa hak adalah suatu kekhususan yang terlindung. Artinya, hubungan khusus antara seseorang dengan orang lain, yang tidak dapat diganggu gugat.
Para ulama ushul fiqih membahas tentang hak ketika mereka membicarakan tentang perbuatan para mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’. Mereka membagi hak pada dua hal yaitu hak Tuhan dan hak hamba. Yang dimaksud dengan hak Allah SWT disini adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan umum, tanpa adanya kekhususan bagi seseorang. Dinamakan hak Allah karena mengandung manfaat yang besar dan juga resiko yang besar. Sedangkan yang dimaksud dengan hak pribadi adalah hal-hal yang menyangkut tentang kemaslahatan pribadi seseorang.
Berkenaan dengan soal pengertian hak, Fathi ad-Duraini mengemukakan bahwa hak ialah suatu kekhususan kekuasaan terhadap sesuatu atau keharusan penunaian terhadap yang lain untuk memenuhi kemaslahatan tertentu. Yang dimaksud dengan kekhususan disini adalah kekhususan hubungan seseorang dan orang lain atau hubungan dengan sesuatu. Dengan demikian dalam definisi ini tercakup dua hak, yaitu hak Allah dan hak manusia sebagai subjek hukum yang secara maknawi dikenal dengan badan hukum, seperti negara, wakaf, baitul maal. Dengan demikian hak yang sifatnya umum bukanlah kekhususan untuk pribadi, tetapi dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti air yang mengalir di sungai.
Kekhususan terhadap sesuatu tersebut harus diakui oleh syara’. Dengan demikian, pemilikan sesuatu tanpa pengakuan syara’ tidaklah dinamakan hak, misalnya seperti hasil dari pencurian dan rampasan. Jika pencurian itu tidak diketahui orang, barang curian itu berada di tangan si pencuri dan secara nyata itu menjadi hak milik dari si pencuri tadi. Tapi, karena tidak diakui oleh syara’, maka kekhususan kaitan antara pencuri dan barang curian tersebut tidak dinamakan hak. Kalimat penunaian yang ada dalam definisi di atas mengandung dua pengertian, yaitu yang berbentuk positif, yakni melakukan sesuatu, dan pengertian negatif yakni tidak melakukan sesuatu.
Menurut fungsinya, hak merupakan perantara untuk mencapai kemaslahatan tertentu. Hak itu sendiri bukanlah suatu maslahat, tetapi merupakan jalan untuk mencapai sebuah kemaslahatan. Dengan demikian suatu hak tidak boleh dipergunakan untuk merugikan orang lain, karena merugikan orang lain bukanlah sebuah kemaslahatan. Dalam hal inilah fukaha membuat kaidah “la darara wa la dirar” yang maksudnya dalam menggunakan hak, orang lain tidak boleh dirugikan dan tidak boleh pula berhak dirugikan orang lain. Selain itu hak tidak diperbolehkan untuk hal-hal yang tidak diakui oleh syara’. Misalnya dengan hak yang ia miliki atas hartanya, seseorang menggugurkan zakatnya dengan menghibahkan hartanya sebelum haulnya.

No comments:

Post a Comment