Tuesday, 2 June 2009

EVOLUSI BERAGAMA PADA MANUSIA

PENDAHULUAN

Agama realitas dalam kehidupan individu dan masyarakat. Sedemikian dekatnya, sehingga agama menjadi perangkat dalam seluruh ritual kehidupan. Sehingga memberikan peluang untuk para peneliti dan para ahli untuk memberikan rumusan dan memberikan kontribusi mereka terhadap agama.

Agama adalah sesuatu yang sakral dan dianggap suci oleh setiap penganutnya, pendekatan seperti apa yang seharusnya dilakukan oleh tokoh-toko agama agar tidak terjadi eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme antar pemeluk agama. Dan usaha yang optimal dari semua kalangan untuk bersinergi dalam suatu pranata sosial yang mengarah kepada peradaban yang madani dan lebih baik antar pemeluk agama.

Evolusi beragama dimulai dari masa primitive hingga modern merupakan teori-teori yang dapat ditrasformasikan ke dalam sistem peradaban. Keyakinan akan apa yang dipercayai dari pemeluk agama adalah sebuah bukti bahwa manusia memerlukan sebuah pijakan yang kuat dalam menapaki kehidupan ini, dan agama memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan serta problema hidup.

Pendekatan yang penulis gunakan untuk memahami serta mendalami teori evolusi agama adalah pendekatan intelektualisme, dekonstruksi dan strukturalisme. Pendekatan seperti ini dapat memberikan referensi terhadap teori-teori tentang agama dan kemajemukan agama itu sendiri.

PENGERTIAN AGAMA

Firman Allah :

Artinya : “Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (QS. Al-Maidah : 48)

Dipandang dari sudut bahasa agama dalam bahasa Indonesia yang berarti din adopsi dari bahasa Arab dan Semit, sedangkan dalam bahasa-bahasa Eropa sama dengan religion (Inggris), la religion (Perancis), de rielegie (Belanda), die Religion (Jerman). Secara bahasa, perkataan agama berasal dari bahasa sansakerta yang mempunyai arti “tidak pergi, tetap di tempat, turun temurun”. Sedangkan makna dari kata din adalah “menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, atau kebiasaan”.

Din juga membawa hukum-hukum yang harus dipatuhi, baik dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan dan pembalasannya. Kata ad-din dan isytiqaq (kata jadiannya) disebut sebanyak 94 kali dalam Al-Qur’an yang memiliki makna dan konteks berbeda, yang antara lain berarti :

1. Pembalasan, sesuai dengan perkataan Allah “Yang menguasai di hari Pembalasan”.

2. Undang-undang duniawi atau peraturan yang dibuat raja, Firman Allah : “Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, Kemudian dia mengeluarkan piala raja itu dari karung saudaranya. Demikianlah kami atur untuk (mencapai maksud) Yusuf. tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendaki-Nya. kami tinggikan derajat orang yang kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada lagi yang Maha Mengetahui’. (QS. Yusuf : 76)

3. Agama yang datangnya dari Allah SWT, bila din dirangkaikan dengan kata Allah. Firman Allah ”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan Hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.(QS Ali Imran : 83)

4. Agama yang dibawa Rasulullah sebagai agama yang benar yakni agama Islam , bila kata ad dinn dikatikan dengan kata al-haqq sesuai dengan firman Allah : “yang Telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai”. (QS. At Taubah : 33)

5. bukan hanya menunjuk kepada agama Islam saja, tapi kepada semua agama sesuai dengan perkataan Tuhan :”Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci”. (QS. Ash Shaff : 9)

Sedangkan unsur-unsur penting yang terdapat dalam agama adalah :

a. Kekuatan ghaib, manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada kekuatan ghaib itu sebagai tempat meminta pertolongan. Manusia merasa harus ada hubungan baik dengan kekuatan ghaib dengan konsekunsi adalah mengerjakan perintah dan menjauhi larangan dari kekuatan tersebut.

b. Keyakinan manusia bahwa kesejahteraannya di dunia dan kebahagiaanya di akhirat tergantung kepada hubungan baiknya terhadap kekuatan ghaib tersebut, dan tanpa adanya kekuatan ghaib itu manusia akan sengsara hidup di dunia dan akhirat.

c. Respons yang bersifat emosional dari manusia, baik dalam perasaan takut atau dalam perasaan cinta. Yang selanjutnya respons tersebut mengambil bentuk sebagai pemujaan atau penyembahan dan tata cara hidup tertentu bagi kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

d. Paham keberadan yang Qudus ( the sacred ) dan suci, seperti kitab suci, tempat ibadah dan sebagainya.

SISI KESAMAAN TEORI SUBSTANSI AGAMA

Agama memiliki definisi yang beragam, demikian banyaknya sehingga definisi agama semakin tidak jelas. Oleh karena itu, ada baiknya jika kita menelusuri pandangan intelektualisme, dekonstruksi dan strukturalis tentang definisi agama, juga membantu kita untuk mengetahui apa yang mereka inginkan dari agama. Di antara tokoh yang ada, Tylor memberikan definisi yang lebih jelas, Tylor mendefinisikan agama sebagai; kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual. Dalam pandangannya, walaupun agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka semua sama dalam hal ini, bahwa terdapat ruh-ruh di alam ini yang berfikir, bertindak dan merasakan seperti manusia.

Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi tersebut sebagai tahapan pertama dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut, dan menganggap bahwa agama sebagai rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam bagian-bagian masyarakat, dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Apa saja yang menyebabkan koherensi dan menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun oleh Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya, Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa definisi tersebut sebagai titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme.

ASAL MULA MUNCULNYA AGAMA

Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Intelektualisme dan kontekstualisme mengenai agama, kita harus mengenal terlebih dahulu pandangan mereka tentang manusia. Pada saat Rasialisme meyakini perbedaan mendasar di antara ras-ras yang ada, dan menganggap bahwa antara ras satu memiliki derajat yang lebih tinggi dari pada ras lainnya, para petualang -dengan pemikiran ini- ditimpa kejadian-kejadian yang tragis yang sangat disesalkan.

Para Intelektualisme bangkit dan menentang pandangan ini, kemudian meyakini bahwa manusia memiliki potensi-potensi yang sama. Tylor kemudian memaparkan apa yang disebut dengank kesatuan psikis, yang menyebabkan manusia memiliki potensi-potensi spiritual dan pikiran yang sama. Mereka sama dalam berpikir dan bertindak. Kesamaan-kesamaan yang kita saksikan di antara budaya-budaya diseluruh alam, bersumber dari kesamaan mendasar dalam benak manusia, karena kebanyakan budaya-budaya yang ada di berbagai tempat adalah hasil dari kreasi manusia. Prinsip kesatuan psikis dalam pandangan Intelektualisme, memberikan sebuah asumsi bahwa agama dalam seluruh ruang dan waktu, selain perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, juga memiliki fenomena yang sama, bahkan bersumber dari substansi yang satu.

EVOLUSI PENGETAHUAN AGAMA

Doktrin yang banyak tertanam dalam benak pikiran dan perilaku umat beragama adalah bahwa kebenaran agama bersifat tunggal, pasti, dan tuntas. Mereka menganggap, bahwa agama adalah wilayah yang harus disucikan dari kreatifitas dan kritik manusia. Sebab, agama adalah wilayah milik Tuhan yang terjamin kebenarannya. Orang yang berani mengkritik agama justru dianggap orang yang gila, aneh dan jauh dari kebenaran.

Namun, bila kita kembali ke sejarah turunnya agama-agama di dunia, sesungguhnya agama tidak bisa lepas dari unsur kreatifitas manusia. Bila wilayah agama dianggap sebagai wilayah Tuhan semata, lantas kenapa muncul agama-agama baru yang bertugas sebagai pelengkap dan penyempurna agama terdahulu, Seperti agama Islam yang berita turun dan kebenarannya terdapat dalam kitab Injil, dan agama Nasranipun ada dalam kitab Taurat milik agama Yahudi. Artinya, secara tidak langsung dapat dipahami bahwa Tuhan sangat paham atas kondisi perubahan zaman, alam, serta tingkat pengetahuan ciptaan-Nya. Oleh karena itu, Tuhan menurunkan agama-agama yang di dalamnya terdapat titik temu bersama yang mestinya harus digali dan dimunculkan.

Evolusi agama yang berwujud pada keberagamaan manusia itu, dan berjalan sesuai dengan tingkat perkembangan kebebasan dan situasi masyarakat yang mengelilinginya. Fokus utama evolusi keagamaan adalah sistem simbol keagamaan itu sendiri. Maksudnya, arah utama perkembangannya adalah simbolisasi dari yang sederhana menuju simbolisasi yang terdiferensiasi. Evolusi dari agama primitif menuju ke agama historis dan kemudian berkembang menjadi agama modern adalah contoh bagaimana agama berubah dari pengaruh situasi kekuasaan okultis yang bermetaformosis dengan keyakinan yang bersifat rasional.

Berkaitan dengan evolusi keagamaan di atas, Abdul Karim Soroush, seorang pemikir Islam liberal dari Iran yang sering dijuluki sebagai “Luther Islam”, mengajukan teori penyusutan dan pengembangan keagamaan. Dalam cara kerja teori ini, sebuah kebenaran teks keagamaan tidaklah bersifat final. Artinya, meskipun agama adalah sebuah doktrin dari Tuhan yang dijamin kebenarannya, akan tetapi pemahaman agama masih bersifat relatif dan terbuka dari berbagai interpretasi baru. Nilai kebenaran sebuah agama dapat dilihat dari dua hal, yaitu kebenaran teologis dan kebenaran historis. Kebenaran teologis pada dasarnya yang mengetahui hanyalah pencipta agama itu sendiri. Tidak ada satu pihak pun yang berhak merasa paling tahu tentang kebenaran teologis ini. Sedangkan kebenaran historis sebuah agama dapat dilacak dari sejauh mana agama tersebut dapat bermanfaat dan membebaskan umat manusia dari belenggu-belenggu kejahatan. Jadi, antara kebenaran agama dan pemahaman agama haruslah diberikan garis demarkasi yang jelas dan ketat.

Soroush juga menegaskan, bahwa dalam pemahaman keagamaan, mutlak diperlukan adanya evolusi yang bersifat dinamis, kritis, dan progresif. Oleh karena itu, ilmu agama haruslah diposisikan sama dengan ilmu pengetahuan lainnya yang bersifat manusiawi dan bersifat relatif (tidak ada kebenaran tunggal). Pengetahuan agama dan kebutuhan zaman yang baru haruslah dicarikan jawabannya terus menerus dengan ijtihad para agamawan seperti halnya ilmu kemanusiaan lain semisal biologi, fisika, kimia, astronomi, dan sebagainya.

Orang yang menghindari pemikiran evolusi keagamaan dengan dalih menjaga kemurnian agama sesungguhnya secara tidak langsung justru membekukan agama sehingga agama menjadi kehilangan elang vitalnya dan cenderung menjadi kekuatan yang tidak membebaskan bagi para pemeluknya. Ilmu atau pemahaman keagamaan tidaklah bersifat sempurna dan berlaku sepanjang waktu, sebab ia terikat dengan sistem budaya yang juga senantiasa berubah. Maka, pemahaman keagamaan yang terus berkembang adalah salah satu bentuk usaha reformasi dan kebangkitan keberagamaan.

MEMBACA DAN MEMAKNAI AGAMA

Sesuai dengan watak evolusi agama yang harus diejawantahkan, maka tradisi kritik dan pemunculan tafsir yang heterogen menjadi suatu kemestian yang wajar dan tak terelakkan. Tradisi ini bertujuan agar peran-peran profetik agama sebagai kekuatan moral dan pembebasan lewat perilaku pemeluknya dapat muncul lagi ke permukaan. Keragaman tafsir juga mempunyai nilai positif sebagai upaya kontekstualisasi teks agama pada problem-problem kemanusiaan masa kini.

Dalam pemunculan keberagaman tafsir keagamaan, metode dekonstruksi yang dicetuskan oleh Jacques Derrida layak dijadikan alternatif paradigma dan cara kerja. Metode yang pada awalnya dipakai dalam bidang sastra dan filsafat ini, bertujuan untuk membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur yang dipaksakan kebenarannya, sehingga tidak menyisakan ruang untuk bertanya, menggugat, atau mengkritik.

Dalam bidang keagamaan, dekonstruksi terhadap teks ini memungkinkan kita untuk membongkar monopoli tafsir atas otoritas tertentu yang menegaskan mengenai “kebenaran” atas nama Tuhan, negara atau penguasa. Sehingga definisi dan praktek pencarian “kebenaran” menjadi demokratis dan berparadigma antroposentrik. Dalam hal ini, manusia menjadi pusat tafsir yang berusaha untuk menggali kebenaran yang beragam secara obyektif.

Evolusi keagamaan yang menghargai pluralitas itu dengan sendirinya menekankan adanya historisitas logos dalam pembacaan teks. Maksudnya, dalam pembacaan teks agama mutlak diperhatikan rentang waktu kemunculan, kompleksitas, serta latar belakang ideologi yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, Arkoun mengkritik adanya sebuah pensakralan pengetahuan agama (taqdis al-afkar ad-diniyyah) yang sering terjadi pada umat beragama. Sebab, sebuah pensakralan menjadikan manusia terbelenggu pada kebenaran tunggal dan penerimaan tanpa reserve sebuah penafsiran teks keagamaan. Padahal, kemunculan teks pada masa lalu pasti tidak terlepas dari dimensi politis dan ideologis sang pengarang.

Berkaitan dengan itu, Arkoun menawarkan kita agar jernih dan jeli membedakan pemikiran keagamaan yang ada pada era klasik, skolastik, dan modern. Untuk itu, model pembacaan teks dengan metode hermeneutika yang berusaha menghadirkan teks masa lalu agar bisa terpakai pada zaman sekarang layak dilakukan. Dalam metode ini, latar belakang kemunculan teks, maksud pengarang, struktur bahasa, nilai atau simbol pengetahuan, dan kontekstualisasi adalah sebuah lingkaran yang senantiasa berkelindan. Sehingga, sebuah teks keagamaan tidak serta merta dipakai secara simbolik tanpa mengkaji makna substantif dan moral yang ada di baliknya.

Dengan bahasa dan istilah berbeda, Mohammad Abed Al-Jabiri juga menegaskan, bahwa krititisme dalam pembacaan dan pemaknaan kembali teks keagamaan mutlak dilakukan. Sedangkan metodologi yang ditawarkan adalah metode strukturalis; analisis sejarah, dan kritik ideologi. Metode strukturalis digunakan sebagai pembacaan teks secara literal dan membatasinya dalam melokalisir kebenaran yang bersifat sementara. Sedangkan analisis sejarah adalah mencari pertautan pemikiran sang pengarang teks dengan ruang lingkup sejarah budaya, sosial, politik, serta sosiologisnya. Kritik idelogi mengungkap maksud pengarang dalam penciptaan karya melalui episteme yang dirujuknya.

Dengan model pembacaan dan pemaknaan agama yang tidak terjebak pada simbol dan homogenitas seperti diatas, maka umat beragama dapat diharapkan menjalankan keberagamaan baru yang humanis dan membebaskan. Penegasan Soroush bahwa “agama terakhir sudah datang, akan tetapi pemahaman agama yang terakhir belum datang” adalah kata kunci untuk memulai keberagamaan baru. Ke depan, umat beragama diharapkan dapat saling hidup bersama dengan menghargai perbedaan, melakukan dialog antar-intra iman, serta giat bekerjasama untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan dan menggalakkan demokratisasi.

Yang perlu dihayati adalah sekalipun memang 'keyakinan eksklusif bisa menyebabkan sikap eksklusif' kita perlu membedakan antara 'keyakinan yang eksklusif' dengan 'sikap eksklusif' yang cenderung tidak bernuansa damai. Demikian juga kita harus membedakan 'sikap yang inklusif (terbuka)' dengan 'iman inklusif' (inklusivisme). Banyak contoh dijumpai bahwa para tokoh 'dialog inklusif' terbuka keyakinannya tetapi bersikap eksklusif menghadapi orang-orang seagama yang berbeda faham dengannya. Agaknya 'inklusivisme sebagai agama' tidak realistis sebab bagaimana seseorang bisa menganggap dirinya inklusif yang berbaikan dengan orang-orang dari kandang yang lain tetapi tetap bersikap eksklusif terhadap orang-orang dikandangnya sendiri? Fakta di kalangan dialog menunjukkan banyak yang menolak 'iman eksklusif agama sendiri' tetapi menerima 'iman eksklusif agama lain' (monisme).

Sebaliknya banyak juga contoh penganut-penganut agama yang 'eksklusif' dalam keyakinannya tetapi mempunyai sikap yang inklusif (terbuka) dalam menjalin dialog dengan sesamanya yang beragama lain. Jadi, yang menjadi soal disini bukan mengubah keyakinan dari 'eksklusivisme' menjadi 'inklusivisme' yang sebenarnya juga 'tidak inklusif' yang tidak realistis mengingat bahwa perkembangan dunia budaya/religi seperti yang disinyalir Samuel Huntington dalam bukunya 'The Clash of Civilization' bahwa kecenderungan reaksi terhadap westernisasi sekarang justru mendorong bangsa-bangsa dunia ketiga menjadi kembali berkeyakinan premordial yang 'eksklusif' sekalipun tetap menerima 'modernisasi' secara 'inklusif' (terbuka).

Pluralisme agama perlu bertitik tolak pada paradigma agama apa adanya (yang eksklusif) tanpa berusaha untuk mengabaikan perbedaan menuju pada suatu faham universalisme yang sebenarnya juga eksklusif, karena faktanya faham ini hanya dianut makanan sekelompok kecil elit akademisi agama sedangkan mayoritas pemeluk agama itu tetap berfaham eksklusif. Tidak salah pula kalau seseorang memiliki misi atau dakwah yang eksklusif dan ingin membagikan kekayaan itu kepada sesamanya sebagai kesaksian hidup. Tetapi, yang perlu terus menerus diusahakan dan dibudayakan adalah bagaimana 'keyakinan eksklusif' itu bisa didialogkan dengan 'sikap yang inklusif' yang lebih sejuk dan damai. Dengan demikian, diharapkan pertentangan agama dapat diselesaikan ditingkat 'grass root' yang 'riel' tanpa kita berpusing diri 'mengubah paradigma keyakinan' itu demi mencapai dialog kerukunan antar pemeluk agama.

Usaha kerukunan agama juga dilakukan di Indonesia dan dirintis sejak tahun 1972 dimana Menteri Agama kala itu H.A. Mukti Ali mencanangkan dialog antar umat beragama sebagai bagian kebijakan Departemen Agama R.I.. Dalam hubungan dengan hubungan antar umat beragama memang ditekankan 'kerukunan antar umat berbeda agama' dan 'kerukunan antar umat seagama', keduanya memang potensial menyebabkan hubungan antar umat beragama menjadi tidak serasi, karena itu sikap inklusif perlu terus diupayakan bersama, baik 'sikap inklusif antar umat berbeda agama' maupun 'sikap inklusif antar umat seagama' agar benar-benar Dialog dalam Pluralisme Agama di Indonesia benar-benar terwujud bukan sebagai sekedar retorika tetapi sebagai suatu pola kehidupan beragama yang nyata.

KELOMPOK AGAMA

Dalam pengelempokan agama terdapat banyak versi. Ada juga yang mengelompokkan agama berdasarkan dari negara asalnya, ada yang mengelompokkan dari segi primitif dan modern ( yang telah meninggalkan agama primitif ). Dan ada juga yang mengelompokkan agama kedalam dua kelompok; (1) agama wad’i (natural religions) atau agama alamiah yang merupakan kreasi manusia dan timbul di lingkungan tempat mereka hidup, seperti agama Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan Shinto; (2) agama samawi (revealed relegions) adalah agama yang diturunkan Allah SWT agar menjadi petunjuk bagi manusia, seperti agama Islam, Nasrani, Yahudi.

Agama Islam merupakan agama samawi terakhir yang diturunkan Allah SWT, sebagai penyempurna ajaran sebelumya, sebagai rahmat bagi alam semesta. Islam tidak hanya mengatur hubungan dengan Tuhan saja tapi juga mengatur hubungan sesama manusia dan kepada alam semesta.

Firman Allah SWT :

Artinya :“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu. Karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”. (QS. Ali Imran : 112)

PENUTUP

Tidak diragukan bahwa teori intelektualisme, kontekstualisme dan strukturalisme telah memberikan peranan yang begitu penting dalam analisis-analisis sosiologi dan antropologi agama. Di sisi lain, teori ini termasuk teori yang pertama dalam ilmu sosial modern, yang membahas mengenai agama, tidak heran jika banyak kita temukan kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, saat ini kita akan membahas dan menganalisa dari berbagai sisi pandangan Intelektualisme, kontekstualisme dan strukturalisme tersebut. Layak kiranya jika kita membahas teori tersebut dengan analisa kritis, dan mengungkapkan sisi positif dan sisi negatifnya.

Oleh karena itu, boleh jadi beberapa dari adat-istiadat secara sepintas memiliki sisi kemiripan, namun pada hakikatnya memiliki makna dan tujuan yang berbeda. Walaupun para saintis saat ini meyakini prinsip kesatuan psikis manusia dalam artian bahwa manusia memiliki potensi yang sama dalam pikiran dan alam mental dari ras-ras yang berbeda, namun prinsip ini kemudian tidak memestikan bahwa manusia di mana saja akan menghasilkan sebuah budaya yang satu. Kemudian para analis Intelektualisme dengan mengasumsikan kesatuan psikis, yaitu kesatuan alam mental dan pemikiran manusia, mereka juga mengasumsikan akan kesatuan sejarah dan budaya-budaya seluruh manusia, dan atas dasar ini, mereka mengumpulkan sampel yang berbeda-beda, dan menganalisanya tanpa memperhatikan basis-basis sosial dan budaya.

Dan dengan pendekatan intelektualisme ini diharapkan semua pembaca lebih mengerti tentang perjalan agama hingga kepada agama Islam yang menjadi agama terakhir yang disempurnakan oleh Allah SWT.

No comments:

Post a Comment